Langsung ke konten utama

GENESIS DAN PERKEMBANGAN KOTA BUKITTINGGI MASA KOLONIAL BELANDA



 Oleh: Dr. Zulqayyim, M.Hum
Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang
Disampaikan dalam Seminar Pelestarian Warisan Budaya dengan Tema:
"Memahami Ulang Urgensi Pelestarian Warisan Budaya di Kota Bukittinggi"
Rabu s/d Kamis, 30 s/d 31 Agustus 2023, Hotel Novotel Bukittinggi
Yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatera Barat

 

1.  Pengantar

Kota Bukittinggi menarik untuk dibicarakan, bukan saja karena peran sejarah yang telah dimainkannya selama sejak kurun waktu satu setengah abad yang lalu,[1] tetapi juga keberadaannya sebagai kota kedua di Sumatera Barat, setelah Padang yang menjadi ibukota provinsi itu. Sejak tiga dasa warsa yang lalu, Bukittinggi telah pula berkembang menjadi pusat perdagangan konveksi untuk kawasan Sumatera, sehingga disebut sebagai Tanah Abang ke-II. Selain itu dan yang selalu melekat padanya adalah sebagai kota wisata karena keelokan pemandangan alamnya dan kesejukan udaranya. Dahulu, pada masa kolonial Belanda, Fort de Kock demikian namanya pada waktu itu, terkenal dengan sebutan “Parijs van Sumatra”.

Sungguhpun demikian, pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi yang signifikan dilakukan pada dua periode, yaitu masa kolonial Belanda dan masa Orde Baru. Adapun masa di antara kedua periode tersebut nyaris tidak ada dilakukan pembangunan infrastrukturnya yang berarti, kecuali dibuatnya lubang pertahanan militer dan dibangunnya lapangan terbang [di Nagari Gadut] oleh Pemerintahan Pendudukan Jepang. Oleh karena itu pada masa itu kota Bukittinggi relatif tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.

 Bahkan, Mochtar Naim mensinyalirnya bahwa kota itu mengalami involusi, karena arus urbanisasi dan diferensiasi sosial berjalan relatif sangat lamban.2 Makalah ini mencoba membahas pembangunan infrastruktur kota Bukittinggi selama masa Pemerintahan Hindia Belanda, khususnya setelah abad ke-20. Sehubungan dengan itu dibahas pula geografis, budaya, dan pertumbuhan kota Bukittinggi yang sudah tentu terkait dengan pembangunan infrastrukturnya tersebut.


2.  
Keadaan Geografis

Kota Bukittinggi terletak sekitar 91 km di sebelah Utara Kota Padang, yang menjadi pintu gerbang Sumatera Barat, karena di kota itulah terletak satu-satunya Bandar Udara Tabing [pada tahun 2002 Bandara Minangkabau di Kab. Padang Pariaman dibangun dan mulai beroparasi pada thaun 2005]  dan Pelabuhan Laut Teluk Bayur. Oleh karena Bukittinggi terletak di daerah dataran tinggi,3 sedangkan Padang di pesisir,4 maka jalan raya dan jalur kereta api yang menghubungkan kedua kota itu memiliki banyak tanjakan dan tikungan, terutama ketika memasuki daerah cagar alam Lembah Anai yang terletak sekitar Km 50. Jalur kereta api itu terdiri dari tiga rel. Rel yang di tengahnya bergerigi dan berfungsi sebagai rem. Jalan raya itu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1833,sedangkn jalur kereta api dibangun pada tahun 1890-an.6 Akan tetapi, sejak tahun 1970- an fungsi kereta api sebagai angkutan umum semakin menurun dan sekarang sepenuhnya sudah digantikan oleh bus.


Letak astronomis Bukittinggi berada pada koordinat 00.221  00.291 LS dan 990.52– 1000.331 BT.7 Hal itu menunjukkan bahwa Bukittinggi berada di tengah Pulau Sumatera, yang terdiri dari rangkaian Pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang pulau itu. Posisinya itu juga sangat strategis karena terletak di persimpangan jalan yang menghubungkan kota-kota Dataran Tinggi lainnya, seperti Payakumbuh, Padangpanjang, Batusangkar, dan Lubuksikaping.8 Oleh karena itu Bukittinggi dapat dijangkau dalam waktu yang relatif singkat dari daerah-daerah Dataran Tinggi lainnya dan tidak mengherankan kalau Bukittinggi sepanjang sejarahnya memainkan peranan yang penting, baik sebagai pusat pemerintahan maupun pusat perdagangan dan pendidikan sejak masa Pemerintah Hindia Belanda.9

Bukittingi memiliki topografis yang berbukit-bukit dan berlembah dengan ketinggian yang bervariasi antara 909 M sampai 941 M di atas permukaan laut.10 Bukitnya berjumlah 27 buah,11 yang letaknya tersebar dalam wilayahnya seluas 5,2 km2. Oleh karena itu seyogianyalah Bukittinggi beriklim sejuk dengan suhu berkisar antara 190 C pada malam hari dan 220 C pada siang hari.12


Sebelah Barat Bukittinggi terdapat Ngarai Sianok dengan kedalaman yang bervariasi antara 75 M sampai 110 M. Ngarai Sianok ini berbelok-belok dan di dasarnya mengalir Batang Sianok dari arah Selatan ke Utara. Batang Sianok ini merupakan hulu Batang Masang yang bermuara di pantai Barat Sumatera (Samudera Indonesia).13 Bagi penduduk yang tinggal di seberangnya, jika berkunjung ke Bukittinggi terlebih dahulu harus menuruni Ngarai Sianok.14

Sebelah Selatan Bukittinggi terdapat Gunung Merapi (2.850 m. dpl), merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat,15 dan dimitoskan oleh orang Minangkabau sebagai tempat asal usul nenek moyangnya.16 Sejajar dengan Gunung Merapi terdapat Gunung Singgalang (2.688 m. dpl.) dan Gunung Sago (2.240 m. dpl), yang masing-masingnya terletak disebelah Barat dan Timurnya. Ketiga gunung itu dinamakan Tri Arga (tiga gunung) [sebutan ini lahir dimasa awal Orde Baru] dan menjadi sebutan pula bagi kota Bukittinggi.17 Di antara bukit-bukit di Bukittinggi dan Gunung Merapi itulah membentang Lembah Dataran Tinggi Agam yang subur.18 Daerah ini dialiri oleh banyak sungai kecil yang bersumber dari pinggang Gunung Merapi dan dua di antaranya Batang Agam dan Batang Tambuo mengalir dalam wilayah Bukittinggi. Kedua anak sungai itu membentuk Batang Agam yang menjadi  salah satu hulu Sungai Indragiri yang bermuara di pantai Sumatera Timur (Selat Sumatera).



3.  
Pertumbuhan Wilayah Kota Bukittingi

Cikal bakal kota Bukittinggi dimulai dari sebuah pasar,19 yang didirikan dan dikelola oleh para penghulu Nagari Kurai.20 Pada awalnya Pasar itu diadakan setiap hari Sabtu, kemudian setelah semakin ramai diadakan pula setiap hari Rabu. Oleh karena pasar itu terletak di salah satu “bukik nan tatinggi” (bukit yang tertinggi), maka lama kelamaan berubah menjadi Bukittinggi.21 Akhirnya nama Bukittinggi itu pun digunakan untuk menyebut pasar, sekaligus masyarakat dan Nagari Kurai. Sebelum kedatangan Belanda di daerah Dataran Tinggi Agam (1823), pasar Bukittinggi telah ramai didatangi oleh pedagang dan penduduk sekitarnya.22

Pada tahun 1926 Kapten Bauer, Kepala Opsir Militer Belanda untuk Dataran Tinggi Agam, mendirikan benteng Fort de Kock,23 di Bukit Jirek yang terletak sekitar 300 m di sebelah Utara pasar Bukittinggi. Kawasan bukit itu diberikan oleh para penghulu Nagari Kurai kepada Kapten Bauer dengan perjanjian akan saling membantu dalam mengahadap Kaum Paderi.

Sejak berdirinya Fort de Kock dan Belanda berhasil mengalahkan Kaum Paderi serta menguasai Minangkabau, maka perkembangan Bukittinggi pada tahap selanjutnya lebih ditentukan oleh kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Secara perlahan pemerintah kolonial memperluas “wilayahnya” dengan meminjam atau membeli tanah kepada para penghulu Nagari Kurai. Bahkan, pada kasus-kasus tertentu, “kepemilikan” tanahnya itu ditentukan secara sepihak oleh Belanda.

Pada tahun 1856 Belanda meminjam tanah perbukitan yang terletak disekitar pasar Bukittinggi dan jika nanti tidak diperlukan lagi, maka Belanda akan mengembalikannya kepada para penghulu Nagari Kurai.24 Tanah itu meliputi 7 (tujuh) bukit yang bertautan satu sama lainnya dan mempunyai lembah-lembah yang sempit. Ketujuh bukit itu adalah Bukit Jirek, Bukit Sarang Gagak, Bukit Tambun Tulang, Bukit Cubadak Bungkuak, Bukit Bulek, Bukit Malambuang, dan Bukit Parak Kopi.25 Di atas ketujuh bukit itulah, secara bertahap Belanda membangun berbagai infrastruktur untuk kepentingan kolonialnya, seperti kantor dan perumahan, gudang-gudang kopi, los-los pasar, perkampungan Cina, dan India.26

Akan tetapi, daerah itu tidak memiliki dataran yang luas untuk dijadikan berbagai keperluan militer. Oleh karena itu pada tahun 1861 Belanda membeli tanah dataran di bagian Selatan Bukittinggi dengan harga f. 46.090,-.27 Daerah itu dibangun untuk perkantoran militer, lapangan, perumahan perwira, asrama, tangsi, rumah sakit, gedung sekolah, dan sebagainya.


Mengikuti perkembangan pembangunan berbagai infrastruktur itu, maka kota Bukittinggi juga semakin berkembang dan maju. Oleh karena itu pada tahun 1888 pemerintah menetapkan sebagai sebuah “kota” dengan batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Timur Laut dan sebelah Utara yaitu dari sebelah barat Bandar Malang melalui pancang (tiang) yang bertanda A pada jalan dekat Kuburan Cina lama dengan pancang bertanda I terletak di jalan ke Kampung Palupuh. Dan dari sini satu garis lurus lagi ke pancang (tiang) yang bertanda B yang terdapat pada jalan kecil kuburan Belanda baru.

Sebelah Barat Laut, sebelah Barat dan Tenggara ialah jalan kecil (kuburan Belanda baru) tersebut di atas sampai ke kuburan Belanda baru. Dari sini batas sebelah Barat Daya dari kuburan Belanda tersebut sampai ke pancang bertanda D berhubungan dengan sebuah pancang berhuruf E. Berikutnya lebih kurang 240 m jauhnya di sebelah Barat jalan ke arah Padangpanjang.

Sebelah Selatan, dari pancang F ditarik satu garis lurus ke arah timur sampai denga titik temunya jalan arah ke Padangpanjang.

Sebelah Timur, dari titik temu tersebut di atas mengaliri Bandar Malang yang terbagi dua: pada Bandar yang sebelah Barat sampai ke tempat pertemuan Bandar ini dengan jalan Payakumbuh.28

Pada tahun 1918 kota Bukittinggi ditetapkan statusnya sebagai sebuah Gemeente,

29 Pada tahun 1930 wilayah Gemeente Bukittinggi diperluas lagi sehingga menjadi 5,2 Km2.30 Adapun batas-batas wilayah kota Bukittinggi yang baru itu adalah:

Sebelah Utara: Dari pancang yang bertanda A, yaitu tempat dimana jalan dari kampung Pintu Kebun berbelok ke kampung Jirat, tepi utara jalan yang sekarang panjangnya 1470 m menuju ke timur sampai dipancang B (letaknya 50 m ke sebelah timur dari tempat dimana jalan berbelok ke selatan di atas ditarik ke selatan panjangnya 950 m sampai jalan Bukittinggi – Payakumbuh (pancang yang bertanda C). kemudian satu garis ditarik ke tenggara panjangnya 1875 m, sampai di pancang yang ad sekarang dari kampung Tarok ke kampung aur di sini bertanda C.

Sebelah Selatan: Tepi Selatan jalan yang ada sekarang dari pembelokan, pancang yang bertanda E, ke barat yang panjangnya 555 m, sampai ke pancang yang bertanda F (tempat yang letaknya 50 m ke Barat dari jalan Bukittinggi  Padangpanjang).

Sebelah Barat Daya dan Barat: Satu garis ditarik ke barat Laut panjangnya 790 m ke pancang yang bertanda G, kemudian tepi selatan jalan kecil dari pancangn yang bertanda C ke pancang bertanda H. kemudian garis sambungan dari pancang yang bermerek I, sepanjang pancang-pancang yang sudah ada sekarang. (yaitu dari 1 sampai 9 ke pancang yang bermerek J sampai pancang yang bermerek panjang sama sekali 800 m dan penghabisan tepi Barat jalan dari pancang K menuju ke utara panjangnya 575 m sampai di pancang yang bertanda A.31


Pada masa Pemerintahan Militer Jepang wilayah daerah Bukittinggi diperluasnya dengan memasukkan 11 nagari yang terdapat di sekeliling Nagari Kurai. Kesebelas  Nagari itu adalah:

  1. Nagari Gaduik, 
  2. Nagari Kapau, 
  3. Nagari Biaro Gadang, 
  4. Nagari Ampang Gadang, 
  5. Nagari Balai Gurah, 
  6. Nagari Batu Taba, 
  7. Nagari Taluak, 
  8. Nagari Guguak, 
  9. Nagari Ladang Laweh, 
  10. Nagari Koto Gadang, dan 
  11. Nagari Sianok.32 

Kebijakan Pemerintahan Jepang itu diikuti pula dengan menukar nama Fort de Kock dengan Bukittinggi Baru.33

Akan tetapi, setelah kemerdekaan luas wilayah Bukittingi itu menjadi perdebatan yang serius. Batas-batas wilayah yang telah ditetapkan secara sepihak, baik oleh pemerintahan Hindia Belanda maupun oleh Jepang, meninggalkan masalah. Nagari- nagari yang pada masa pendudukan Jepang termasuk ke dalam wilayah kota Bukittinggi, menuntut otonominya masing-masing. Sementara kelima jorong yang terdapat di Nagari Kurai dijadikan pula sebagai suatu pemerintahan yang otonom. Adapun Bukittinggi ditetapkan pula sebagai sebuah Kotapraja yang juga otonom.34 Oleh karena itu, pada masa awal kemerdekaan terjadi tumpang tindih tentang batas-batas wilayah kota Bukittinggi. Jika, dilihat prosesnya maka terdapat  dua wilayah yang dapat dijadikan acuan wilayah kota itu. Pertama, wilayah Bukittinggi menurut batas-batas stadsgemeente tahun 1930. Kedua, wilayah Bukittinggi berdasarkan batas-batas kota pada masa pemerintahan Jepang.

Selanjutnya, pada tanggal 22 Maret 1947 para penghulu kelima jorong dalam Nagari Kurai mengadakan musyawarah dan memutuskan bahwa otonomi Nagari Kurai harus dihidupkan kembali.35 Kebijakan itu dimaksudkan untuk mengantisipasi bagi masuk atau tidaknya wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong ke dalam wilayah Bukittinggi. Hal itu hal itu membuat semakin seriusnya masalah batas-batas wilayah kota itu.

Melihat perkembangan itu, Residen Sumatera Barat, Mr. St. Moh. Rasyid mencoba untuk menjadi fasilitator bagi kelompok-kelompok yang “bertikai”. Akhirnya, pada tanggal 29 Mei 1947 disetujuilah bahwa wilayah kota Bukittinggi sama dengan wilayah hukum adat Nagari Kurai V Jorong. Naskah keputusan itu disebut dengan “Naskah Kayu Kalek”, karena pertemuan itu diadakan di Kayu Kalek.36 Dengan demikian batas-batas kota Bukittinggi sama pula dengan batas-batas Nagari Kurai, yaitu: di sebelah Utara dengan Nagari Gaduik dan Nagari Kapau; di sebelah Timur dengan Nagari Ampek Angkek; di sebelah Selatan dengan Nagari Banuhampu dan Sungai Pua; di sebelah Barat dengan Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Sianok.37


4.  
Pembangunan Infrastruktur Kota Bukittinggi

a.  Pasar Bukittinggi

Pada awalnya secara fisik Pasar Bukittinggi masih sangat sederhana, yakni berupa lepau-lepau (lapau) yang tonggaknya terbuat dari bambu atau kayu dan beratap daun rumbia atau daun ilalang.38 Separuh bagian bawahnya didinding, sedang bagian atasnya dibiarkan terbuka, sehingga ketika pasar sudah usai akan terlihat kerangkanya. Lepau itu akan ditinggal oleh pedagang selama seminggu, kemudian mereka akan datang pada hari (Sabtu dan Rabu) pasar berikutnya. Bagi pedagang yang tidak mempunyai lepau, biasanya mereka menggelar dagangannya di atas tanah dengan beralaskan katidiang  (jawa:bakul) atau daun pisang.39

Upaya pertama yang dilakukan Belanda untuk mengembangkan Pasar Bukittinggi itu adalah dengan mendatarkan lokasinya sehingga terlihat semakin luas. Kemudian, di sekelilingnya dibangun jalan-jalan dan selokan-selokan. Untuk itu kepada pemilik pedati yang datang ke Bukittinggi diharuskan membawa batu dan pasir. Sedangkan pekerjanya adalah tenaga kerja rodi, yang didatangkan dari nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Agam Tua, seperti Nagari Banuhampu, Padanglua, Sariak, Guguak, Kototuo, dan Ampek Angkek. Selain itu, dipekerjakan juga para tahanan yang mendekam dalam tangsi Bukittinggi.40

Seiring dengan ditetapkannya batas-batas Bukittinggi (1888), maka pembangunan  pasarnya juga semakin digiatkan.41 Pada tahun 1890 dibangun sebuah loods (orang Minang menyebutnya dengan loih) di tengah pasar Bukittingi. Masyarakat menyebutnya dengan Loih Galuang (Los Melengkung) karena atapnya berbentuk setengah lingkaran (melengkung).42 Biaya pembangunannya berasal dari Pasar Fonds dan pinjaman dari Singgalang Fonds43 sebanyak f. 400,-. Dana pinjaman itu digunakan untuk membeli bahan bangunan, seperti besi dan seng. Adapun bahan-bahan bangunan lainnya, seperti kayu, pasir, dan batu dibebankan kepada nagari-nagari dalam wilayah Onderafdeeling Oud Agam. Demikian juga pekerjanya diambil dari daerah itu. Mereka dipekerjakan sebagai tenaga rodi bersama-sama dengan para tahanan dari tangsi Bukittinggi.44 Enam tahun kemudian (1896) dibangun lagi sebuah loods di bagian Timurnya.45 Kedua los itu diperuntukan bagi pedagang kain, kelontong, dan sejenisnya.

Pada tahun 1900 dibangun lagi sebuah loods yang khusus untuk menjual daging dan ikan basah, baik ikan air tawar maupun ikan laut.46 Loods itu dibangun di pinggang bukit sebelah Timur supaya kotoran dan air limbahnya dapat dialirkan langsung ke selokan (bandar) yang mengalir di kaki bukit itu. Oleh karena lokasinya itu berada di kemiringan, maka pasar itu dinamakan oleh masyarakat dengan Pasar Teleng (Miring) [sekarang Pasa Lereang]. Adapun rumah potongnya dibangun di sisi sebelah Selatan, persis di pinggir anak sungai, sehingga memudahkan pula untuk membuang kotoran dan sisa penyembelihan hewan. Sekitar 500 m ke arah Baratnya didirikan pula Pasar Ternak.

Penataan Pasar Bukittinggi dilakukan secara besar-besaran pada masa pemerintahan Controleur Oud Agam, L.C. Westenenk (1901-1909). Lokasi pusat pasar diperluas dengan mendatarkan gundukan tanah bukit di sekitarnya. Lepau-lepau yang tidak teratur letaknya dirobohkan.47 Sebagai gantinya dibangun beberapa loods dengan mengikuti topografis Bukittinggi yang berbukit itu, sehingga pasar Bukittinggi menjadi bertingkat-tingkat.


Untuk menutupi biaya perbaikan dan pembangunan pasar Bukittinggi yang relatif besar itu, Controleur Westenenk meninjam uang kepada N.I. Escompto Maatschappij sebanyak f. 12.000’-. Sebagai jaminan diborohkannya pasar Bukittinggi.48 Loods yang dibangun berjumlah sebanyak 6 buah. Masing-masingnya tiga loods dibangun bersebelahan dengan Loih Galuang, satu loods dibangun di sebelah Timur Laut yang lokasinya lebih rendah. Loods ini dibangun khusus untuk menampung pedagang ikan kering dan dinamakan dengan Loih Maco.49

Adapun dua loods lainnya dibangun di kaki bukit sebelah Timur Laut, yang lokasinya relatif datar. Oleh karena letaknya lebih rendah maka dinamakan Pasar Bawah. Kedua loods yang dibangun sejajar membujur dari Utara ke Selatan, diperuntukkan bagi pedagang kelapa, beras, buah-buahan dan sayur-sayuran. Di dekat stasiun kecil kereta api (yang menuju ke Payakumbuh) muncul pula pasar yang dinamakan dengan Pasar Aua Tajungkang.

Para pedagang diberikan hak sewa tanah sebesar f. 1,-/tahun dan diizinkan untuk mendirikan kios sendiri.50 Peluang itu disambut oleh para pedagang, sehingga bermunculanlah kios-kios para pedagang di sekitar pasar Bukittinggi. Pada tahun 1923 kios-kios pedagang yang terdapat di sisi Barat dan Timur Loih Galuang dirobohkan dan sebagai gantinya dibangun 8 (delapan) blok rumah toko. Di sebelah Barat terdiri dari empat 4 (empat) blok sejajar dan oleh masyarakat dinamakan Muka Pasar, sedangkan di sebelah Timur yang juga terdiri dari 4 (empat) blok tetapi berjajar dua, disebut Belakang Pasar.

Untuk menghubungkan kedua Pasar Atas dan Pasar Bawah itu dibangun tiga lokasi anak tangga (orang Minang menyebutnya dengan janjang), yaitu Janjang Ampek Puluah (karena jumlah anak tangga yang kecil sebanyak 40) di sebelah Utara, Janjang Gantuang (sesungguhnya adalah jembatan penyeberangan, yang juga berterusan dengan beberapa anak tangga lainnya yang melewati Loods Daging) di sebelah Timur. Jembatan itu dibangun pada tahun 1932 oleh Controleur W.J. Cator (1931-1932). Selain itu masih ada beberapa anak tangga lainnya, yaitu Janjang Minang dan Janjang “Kampuang Cino” yang  menghubungkan Pasar Atas dengan Kampung Cina di sebelah Barat. Dan, terakhir Janjang Gudang yang menghubungkan Pasar Atas dengan Jalan “Kampementslaan” di sebelah Selatan menuju Padang.

Selain pedagang pribumi, pemerintah Hindia Belanda juga memberi izin kepada pedagang Cina dan Keling (India) untuk mendirikan kios-kios. Mereka juga diberikan hak sewa tanah dan untuk membangun toko dan rumah mereka di atasnya. Akan tetapi, lokasi pembangunan kios mereka telah ditentukan secara tersendiri. Para pedagang Cina ditempatkan di kaki bukit sebelah Barat membujur dari Selatan ke Utara. Daerah itu dikenal dengan nama Kampuang Cino (Kampung Cina/Pecinan). Adapun pedagang India ditempatkan di daerah kaki bukit sebelah Utara, melingkar dari arah Timur ke Barat. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama Kampuang Kaliang (Kampung Keling).

 


b.  
Sekolah Raja dan yang lainnya

 

Salah satu sekolah yang sangat terkenal di Bukittinggi adalah Kweekschool atau Sekolah Guru.51 Sekolah itu mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1856 untuk mengantisipasi kekurangan guru di Sumatera Barat, baik secara kuntitas maupun kualitas. Pada waktu itu untuk ruang belajarnya digunakan gedung “rumah bicara”, sebuah gedung yang didirikan untuk pertemuan para orang Belanda yang terletak di simpang jalan ke Panorama dan Kantor Asisten Residen. Gedung itu terdiri dari dua tingkat dan ruangan yang digunakan untuk belajar adalah yang lantai bawah.52 Kegiatan belajar-mengajarnya sering terganggu, karena lantai atasnya sering digunakan untuk rapat  oleh pemerintah.

Pada tahun 1873 dibangunlah sebuah kompleks Kweekschool di bagian Selatan Bukittinggi.53 Bangunannya utamanya terdiri dari sebuah gedung untuk ruang belajar yang teridiri dari beberapa lokal. Komplek itu dilengkapi dengan membangun 50 kamar untuk murid-muridnya. Kamar ditambah bangunannya seiring dengan pertambahan jumlah muridnya,54 sehingga pada tahun 1908, jumlahnya telah mencapai 74 buah. Pengasramaan itu dimaksudkan supaya para gurunya dapat memantau kegiatan para muridnya.55

Kemudian antara tahun 1880-1882 dibangun 3 buah rumah dinas, yang masing- masingnya untuk guru ketiga, guru kedua, dan guru kepala.56 Selain itu dibangun pula sebuah gedung Sekolah Privat (Externenschool) yang terletak di samping gedung utamanya. Sekolah itu dimaksudkan sebagai tempat praktek bagi murid-muridnya.57 Dengan demikian, murid-murid Sekolah Raja tidak perlu pergi praktek ke rumah Sekolah Agam, yang jaraknya relatif jauh. Akan tetapi Sekolah Raja itu dikuidasi oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 dan sebagai gantinya didirikanlah M.U.L.O. 58

Selain sekolah Raja itu, sejak awal abad ke-20 seiring dengan dicanangkannya Politik Etis oleh pemerintah, maka didirikan pula Hollandsche Inlandsche School (HIS) di Jirek, HIS di dekat Rumah Sakit, HIS di dekat kantor Controleur, HIS di Panorama (Atas Ngarai), Europa School (di SMP Negeri 1 sekarang), Hollansche Chinese School (di belakang SMP Negeri 1 sekarang), dan sebagainya. 


c.    Kebun Binatang

Ide untuk mendirikan kebun binatang mulai muncul pada tanggal 3 Juli 1929. Pada waktu Asisten Residen Agam, Groeneveld yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Kota Bukittinggi, bertemu dengan J. Heck, seorang dokter hewan, dan Edwarf Jacobson, seorang hartawan Belanda. Mereka menyepakati untuk membangun sebuah kebun binatang untuk menambah daya tarik kota Bukittinggi. Groeneveld menyarankan supaya kebun binatang itu dibangun di Bukit Malambuang karena di sana sudah ada Taman Bunga (Starmpark) yang dibangun pada tahun 1900. Taman itu berbentuk “segi tiga” dengan luas 3.362 meter2. Adapun batas-batasnya di sebelah Timur dengan Jalan Cindua Mato, sebelah Utara dengan Jalan Ofotan, dan sebelah Barat dengan Kampung Cina.

Pada bulan Juli 1929, setelah beberapa kandang sudah selesai dibangun, maka mulailah difungsikan kebun binatang itu. Pada waktu itu binatang yang dipelihara adalah binatang kecil, seperti kelinci, ayam hutan, dan burung kuaw. Binatang besar dan buas,

seperti harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hitam, ular, buaya, anoa, dan banteng liar, baru dimasukan pada tahun 1931. Pada waktu itu dimasukkan harimau, macan tutul, beruang hitam, orang hutan, ulr, buaya, anoa, banteng liar. Semakin lama koleksi satwa di kebun binatang semakin lengkap yang dipelihara, sehingga pada tahun 1941 sudah tedapat 155 jenis satwa.


Kebun binatang itu dilengkapi dengan sebuah Rumah Adat Minangkabau yang dibangunn pada tahun 1935. Rumah adat itu berukuran 36,5 x 10 meter dan memiliki 7 gonjong dengan anjungan di kedua sisinya. Model rumah gadang itu dinamakan Rumah Gadang Gajah Maharam. Rumah Adat itu difungsikan sebagai museum yang mengoleksi berbagai hasil-hasil kebudayaan Minangkabau. Kemudian, pada tahun 1955 dan 1956 di halamannya dibangun pula dua buah lumbung: yaitu si bayau-bayau yang bertiang enam dan sitinjau laut yang bertiang empat. Pada waktu itu kebun binatang Bukittinggi tercatat sebagai yang terbersih dan terindah di Indonesia.

Akan tetapi sejak masa pemerintahan Jepang kebun binatang itu mulai terabaikan. Hal itu berlanjut pada masa Perang Kemerdekaan dan nasib kebun binatang itu semakin memprihatinkan. Melihat kondisi yang demikian para pembesar Belanda yang berada di Bukittinggi bermaksud untuk membawa semua satwa itu ke kebun binatang Rangunan, Jakarta. Beberapa kandang kerangkeng disiapkan untuk itu. Namun, bersamaan dengan itu Kerajaan Belanda menmberikan pengakuannya atas kedaulatan Indonesia, sehingga pemindahan itu tidak jadi terlaksana. Situasi politik itu telah menyelamatkan kebun binatang Bukittinggi dari kepindahannya.

Sepanjang sejarahnya nama Kebun Binatang (1929) sudah berganti beberapa kali. Sebelumnya bernama Kebun Bunga (1900), kemudian ditukar menjadi Taman Puti Bungsu (1956), dan sekarang bernama Taman Bundo Kanduang (1970).

 


d.  
Jam Gadang

Jam Gadang atau Jam Besar yang menjadi landmark kota Bukittnggi dibangun pada tahun 1926. Arsiteknya, Yazid St. Gigiameh adalah seorang Minangkabau. Jam Gadang dibangun di atas puncak bukit yang tertinggi dan menghadap ke arah Gunung Merapi. Alas atau dasarnya memiliki diameter 13 m, puncaknya memiliki diameter 80 cm, sedangkan tingginya 26 m. Jam Gadang ini merupakan hadiah dari Ratu Juliana kepada ControleurOud Agam, H.R. Rookmaker (1923-1927) yang sekaligus menjabat sebagai “walikota” Bukittinggi. Jam gadang berbentuk empat persegi dan masing-masing sisi di puncaknya dipasang sebuah jam besar. Oleh masyarakat setempat jam besar tersebut disebut Jam Gadang, sehingga bangunan itu lebih dikenal dengan nama Jam Gadang.

Pada awalnya puncak Jam Gadang dibuat setengah lingkaran, seperti kubah. Di atasnya dipasang sebuah patung ayam jago yang sedang berkokok. Kemudian pemerintah Jepang menukar puncaknya itu dengan atap bertingkap, seperti pagoda. Setelah kemerdekaan atap Jam Gadang itu pun ditukar dengan gonjong rumah adat, sehingga mencerminkan nuansa keminangkabauannya.

Selain itu, untuk mempercantik kota dibeli pula lampu mercuri untuk jalan raya, dibuat patung-patung harimau, dan  taman air mancur. Dana yang dikeluarkan untuk  membangun menara “Jam Gadang” dan membeli 4 (empat) buah jam, dan membangun taman-taman kota mencapai f. 15.000,-59          Hal itu dapat dilakukan karena pendapatan  pasar Bukittiggi semakin baik. Pada tahun 1926 sudah mencapai f. 28.000,-.60

Di sebelah Selatan pelataran Jam Gadang dibangun terminal bus. Terus ke arah Selatan terdapat bangunan kantor Asisten Residen Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan   bersebelahan dengan rumah dinasnya. Komplek inilah yang sekarang dijadikan Istana Negara “Bung Hatta”. Pada sebelah Barat pelataran Jam Gadang didirikan Pom Bensin yang bersebelahan dengan Kontor Polisi dan di seberangnya terdapat kantor  Controleur Oud Agam. Pada sebelah Utara pelataran Jam Gadang dijadikan sebagai  tempat perhentian bendi dan diseberangnya berdiri rumah toko dan Loih Galuang beserta beberapa loods lainnya. Sedangkan di bagian Timurnya terdapat jalan raya ke arah Selatan yang menjadi jalan utama di kota Bukittinggi.


e.  
Komplek Tentara

Pada awalnya komplek tentara/garnizun Belanda dibangun di sekitar Benteng de Kock sampai ke kaki bukit di bawahnya. Di sana dibangun rumah sakit, kolam renang, dan lapangan, serta kuburan Belanda. Akan tetapi sejak tahun 1861, setelah Belanda membeli kawasan Selatan Bukittinggi, komplek tentara itu dipindahkan ke sini. Di kawasan itu dibangun sejumlah rumah perwira, yang terletak di pinggir jalan utama, perkantoran tentara yang berhadapan dengan lapangan, serta beberapa blok asrama prajurit. Pada masa awal masa Pendudukan Jepang komplek tentara itu digunakan untuk lokasi Sekolah Militer Gyu gun. Sedangkan, setelah kemerdekaan dimanfaatkan untuk lokasi Sekolah Kadet.

 

5.  Penutup

Bukittinggi merupakan sebuah kota dataran tinggi yang strategis, mempunyai pemandangan alam yang indah. Pada satu sisi, faktor alam ini telah menjadi pendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan kota Bukittinggi, sehingga menjadi kota terpenting di Sumatera Barat. Pada sisi lain, faktor alam itu pun menjadi penghambat perkembangan keruangan kotanya, kecuali ke arah Selatan yang daerahnya relatif datar. Daerah Selatan dapat disebut menjadi daerah yang terbuka karena didukung pula oleh posisinya yang mengarah ke Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat.

Cikal bakal kota Bukittinggi dapat dirunut kepada pasar tradisional Nagari Kurai, yang kemudian berkembang menjadi jantung Kota Bukittinggi. Kemudian, setelah kedatangannya Belanda mengembangkan daerah itu menjadi kota dengan membangun berbagai infrastrukturnya, mulai dari perkantoran, pasar, jalan dan selokan, serta berbagai prasarana wisata. Pemanfataan keruangan kota secara secara tepat guna dan efektif telah menampilkan sosok kota yang alamidan berwawasan lingkungan.

Akan tetapi, keserasian wajah kota Bukittinggi itu sekarang terabaikan, baik oleh warga maupun oleh pemerintahan kotanya karena lebih mengutamakan aspek ekonomi dari pada yang lainnya. Pembangunan berbagai infrastruktur kota, menjadi tidak efektif karena tidak mempertimbangkan topografisnya. Lebih jauh dapat dikatakan bahwa permbangunan kota Bukititinggi sekarang dan juga kota-kota di Indonesia lainnya, terlihat kurang memperhatikan faktor kesejarahannya.

Hal lain yang dapat dikemukakan bahwa dengan berkuasanya pemerintah kolonial Belanda juga telah merubah kepemilikan tanah di Bukittinggi. Tanah ulayat (harta pusaka) yang semula tidak boleh dipindahtangankan atas “tekanan” pemerintah (juga sekarang) tidak saja dapat disewakan, tetapi juga dapat diperjual belikan. Pada akhirnya, penduduk asli Bukittinggi (masyarakat Kurai) juga mengalami peminggiran kerana semakin tingginya arus urbanisasi. 


===================================

kata dalam tanda [] ditambahkan admin

KEPUSTAKAAN

1.    Arsip Negara Tercetak

Besluit van Gouverneur Generaal, No. 13 Tanggal 1 Aapril 1856.

Besluit van Gouverneur Generaal, No. 37, tanggal 5 Mei 1861.

Besluit van Gouverneur Generaal, No. 275, tanggal 16 Desember 1872.

Besluit van Gouverneur Generaal, No. 1, tanggal 1 Desember 1888.

Besluit van Gouverneur Generaal, No. 25, Tanggal 20 Mei 1930. Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Tahun 1877 No.708 Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Tahun 1914 No. 731.

Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 310 Tahun 1918. Lembaran Negara Republik Indonesia No. 221, Tahun 1947. Koloniaal Verslag, Tahun 1907.

Volkstelling van Nederlansch Indie, Tahun 1930.

2.  Artikel dan Majalah

Aboen Goeroe-Goeroe, No. 6 Juni 1927, hlm. 61.

Cluysenaer, J.L. “Mededelingen Omtrent de Topographie van een Gedeelte der Padangsche Beneden- en Bovenlanden”, Tijdscrift Aardrijkskundig Genootschap, No. ? Tahun 1879.

Bercer, D.H. “Aan merkingan gehouden op een Reize door eenige Districten Padangsche Bovenlanden”, Verhandelingen van het Koloniaal instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, No. 16 Tahun 1939.

“Fort de Kock”, dalam J. Paulus, Encyclopedie van Nederlansch Indie. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917.

Datoek Soetan Maharadja, “Tambo dan Oendang-oendang Adat Alam Minang Kabau” dalam Adatrechtbundel, Bagian V, Jilid XXVII, Tahun 1928.

James, K.A. “De Nagari Koto Gadang”, TBB No. 49 Tahun 1915.

Kottenbelt, A. “De Rechtstoestand van de Gronten warop de Pasar te Fort de Kock is opgericht”, KT, No. 30, Tahun 1941.

Kielstra, E. B. “Sumatra’s Westkust 1836-1840”, deel IV, BKI No. 39 Tahun 1890, Mochtar Naim, “Perkembangan Kota-kota di Sumatera Barat”, Prisma No. 3 Tahun

II/1973.

3.  Buku-buku

 Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Azwar Dt. Mangiang “Hari Jadi Kota Bukittinggi, 18 Desember 1820”, Makalah Seminar Hari Jadi Kota Bukittinggi (Bukittinggi: t.p., 1988), hlm. 1-9.

A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Graffiti Press, 1984.

A. Emran Djamil dan H. Abdul Malik Karim (eds), Peringatan (Verslag) dari Madjlis Permoesyarawatan Oelama Minangkabau membicarakan Goeroe Ordonantie pada tanggal 19 Agustus daan 4 November 1928

Ahmad Dt. Batuah dan A. Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya. Djakarta: Balai Pustaka, 1956.

Benda, Harry J. et. al., Japanase Militery Administration in Indonesia: Selected Documents. Yale University Southeast Asian Studies, 1965.

Buys. M. Twee Jaren op Sumatra’s Westkust. Amsterdam: A. Akkering, 1886.

Dobbin, Christine. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan Lilian Tedjasudhana (Jakarta: INIS, 1992),

Graves, Elizabeth E. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century .Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1981.

Houven, A. Pruys van der. Een Woord over Sumatra in Brieven Verzameld en Uitqeqeven. Rotterdam: H. Nijgh, 1864.

Handboek voor Toerism in Nederlansch-Indie Samengestelt en Uitgegeven. Semarang: Java Motor Club, ?.

Joustra, M. Minangkabau: Overzicht van Land, Geschiedenis, en Volk. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijnhoff, 1923.

J.R. Chaniago, “Penduduk Bukittinggi sebelum Perang: Sebuah Kerangka Studi”, dalam Anhar Gonggong (Ed.), Komunikasi antar Daerah Suku Bangsa Jakarta: Depdikbud, 1983.

Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah. Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, t.t

Marjani Martamin, et al., Sejarah Sumatera Barat. Jakarta: PDISN Depdikbud, 1978. Milone, Pauline Dublin.Urban Areas in Indonesia: Administrative and Cencus Concepts. Berkeley: University of California, 1967.

Mohamad Hadjerat, Sedajarah Negeri Kurai V Djorong serta Pemerintahannya, Pasar dan Kota Bukittinggi. Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1947.

Mohamad   Hadjerat,    Peringatan    Penjerahan    Djabatan    (Memorie    van    Ovrqave) Pemerintah Negeri Kurai Limo Djorong . Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1950.

M.D. Mansoer, et al., Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara, 1970.

Syahruddin, “Pola Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Pusat Pertumbuhan Sumatera Barat”, Sebuah Laporan untuk Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Asisten IV). Padang: Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas, 1987.

Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang . Jakarta: Sinar harapan, 1985.

Taufik Abdullah, “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik Minangkabau” dalam Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987).










____________________

1 Pada masa pemerintahan Hindia Belanda Bukittinggi berfungsi sebagai ibukota Afdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling Oud Agam. Kemudian ketika Pemerintahan Pendudukan Jepang (1942-1945) dijadikan ibukota Sumatera, sedangkan pada masa Revolusi Kemerdekaan Bukittinggi disebut sebagai “Yogya Kedua” karena dari kota inilah Bung Hatta memimpin Perang Kemerdekaan untuk Sumatera (29 Juli 1947-17 Januari 1948). Selanjutnya, Bukitinggi menjadi ibukota Provinsi Sumatera Tengah (15 April 1948). Kementerian Penerangan Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah (Djakarta: Kementerian Penerangan Republik Indonesia, t.t.), hlm. 157-161 dan 390-393). Meskipun kota Padang telah ditetapkan ibukota Provinsi Sumatera Barat sejak tahun 1958, ketika Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga provinsi (Sumatera Barat, Riau, dan Jambi), namun dalam beberapa hal kota Bukittinngi tetap difungsikan sebagai ibukota Provinsi itu. Fungsinya sebagai ibukota provinsi baru dicabut pada tahun 1979 berdasarkan PP No. 29/1979. Marjani Martamin, et al., Sejarah Sumatera Barat (Jakarta: PDISN Depdikbud, 1978), hlm. 148-149. Terakhir, sejak ibukota Kabupaten Agam dipindahkan ke Lubukbasuang, maka Bukittinggi hanya menjalankan fungsinya sebagai sebuah kotamadya dan sekarang sebagai pemerintahan kota.

2 Mochtar Naim, “Perkembangan Kota-kota di Sumatera Barat”, Prisma No. 3 Tahun II/1973, hlm. 58-62. Pada tahun 1980-1986 laju pertambahan penduduk kota Bukittinggi adalah 1,0. Angka ini jauh di bawah rata-rata laju pertambahan penduduk kota di Sumatera Barat yaitu 4,6 dan di Indonesia yaitu 4,3. Syahruddin, “Pola Pertumbuhan Penduduk Perkotaan di Pusat Pertumbuhan Sumatera Barat”, Sebuah Laporan untuk Sekretariat Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Asisten IV) (Padang: Pusat Studi Kependudukan Universitas Andalas, 1987), hlm. 27 dan 29-30.

3 Daerah Dataran Tinggi Sumatera Barat disebut oleh Belanda dengan Padangsche Bovenlanden. Padangsche Bovenlanden yang biasanya diterjemahkan menjadi Padang Darat (Darat berasal dari Darek), dalam beberapa buku sejarah Minangkabau merupakan sebuah kekeliruan. Daerah Dataran Tinggi itu meliputi daerah mulai dari Kabupaten Pasaman (Timur) sampai Kabupaten Kerinci (Provinsi Jambi) di bagian Selatan, termasuk di dalamnya adalah Kabupaten Tanah Data, Agam, dan Limo Puluah Koto. Sementara ketiga daerah yang terakhir itu oleh orang Minangkabau disebutnya Darek atau Luhak nan Tigo (Luhak yang Tiga) dan yang lainnya disebut Rantau. Darek merupakan daearah asal atau inti Alam Minangkabau dan Rantau merupakan kawasan yang mengelilingi Darek, yang pantai Barat dan Timur Sumatera Bagian Tengah. M.D. Mansoer, et al., Sedjarah Minangkabau (Djakarta: Bhratara, 1970), hlm. 2- 3; lihat juga A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Graffiti Press, 1984), hlm. 228.

4 Daerah Pesisir Sumatera Barat disebut oleh Belanda dengan Padangsche Benedenlanden, sedangkan masyarakat Minangkabau menyebutnya Rantau Pasisie. (Pesisir). Ibid.

5 Jalan Lembah Anai yang panjangnya sekitar 17 km terletak antara Kayutanam dan Padangpanjang. Elizabeth E. Graves, The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century (Ithaca, New York: Cornell Modern Indonesia Project, 1981), hlm. 56-57. Sebelumnya, kedua daerah itu dihubungkan oleh jalan setapak yang dikenal dengan nama Jalan Jawi-jawi. Rusli Amran, Sumatera Barat Plakat Panjang (Jakarta: Sinar harapan, 1985), hlm. 305.

6 Ibid. hlm. 305.

7 Mohamad Hadjerat, Peringatan Penjerahan Djabatan (Memorie van Ovrqave) Pemerintah Negeri Kurai Limo Djorong (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1950), hlm. 3.

8 Pertama, jalan ke arah Selatan menuju Padangpanjang (berjarak sekitar 17 km) menghubungkan Bukittinggi dengan Padang dan Solok serta kota-kota lainnya di bagian Selatan Sumatera. Kedua, jalan ke sebelah Timur menuju Payakumbuh (berjarak sekitar 33 Km) menghubungkan Bukittinggi dengan Pakanbaru, yang terletak di bagian Timur Sumatera. Ketiga, jalan ke arah Utara menuju Lubuk sikaping (berjarak sekitar 75 Km) menghubungkan Bukittinggi dengan kota-kota di bagian Utara Sumatera. Lebih lajut lihat Peta 1.

9 Sebelumnya Belanda menetapkan Batusangkar, kemudian Padangpanjang sebagai pusat pemerintahannya. Akan tetapi, sejak tahun 1847, seiring dengan dilakukannya pembaharuan administrasi pemerintahan Belanda di Sumatera Barat, maka Bukittinggi dijadikan sebagai ibukota Residensi Padangsche Bovenlanden. E. B. Kielstra, loc. cit.

10 M. Joustra, Minangkabau: Overzicht van Land, Geschiedenis, en Volk (‘s-Gravenhage : Martinus Nijnhoff, 1923), hlm. 26.

11 Adapun ke-27 Bukit itu adalah Bukik Kubangan kabau, Bukik Jirek, Bukik Sarang Gagak, Bukik Tambun Tulang, Bukik Cubadak Bungkuak, Bukik Malambuang, Bukik Mandiangin, Bukik Ambacang, Bukik Upang-upang, Bukik Pauh, Bukik Lacir, Bukik Jalan Aua nan Pasa, Bukik Cindai, Bukik Campago, Bukik Gumasik, Bukik Gamuak, Bukik Guguk Bulek, Bukik Sangkut, Bukik apit, Bukik Pinang nan Sabatang, Bukik Cangang, Bukik Parit, Nantuang, Bukik Sawah Laweh, Bukik Batarah, Bukik Pungguak, Bukik Paninjauan, dan Bukik Gulimeh. Mohamad Hadjerat (1950), op. cit., hlm. 3-4.

12 “Fort de Kock”, dalam J. Paulus, Encyclopedie van Nederlansch Indie (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1917), hal. 720-724.

13 “Oud-Agam”, ibid., hlm. 187-189.

14 Ada tiga jalan untuk melewati Ngarai Sianok. Pertama, jalan setapak turun dan naik ngarai yang menghubungkan Bukittinggi dengan Nagari-nagari di sebelah Barat Ngarai Sianok, seperti Koto Gadang, Sianok, Guguak, Balingka, dan Malalak. Kedua, jalan yang menelusuri hilir Batang Sianok yang menghubungkan Bukittinggi dengan Nagari Matua, Palembayan, Lawang, dan Maninjau. Handboek voor Toerism in Nederlansch-Indie Samenqestelt en Uitqeqeven (Semarang: Java Motor Club, ?), hlm. 186. Jalur ini dilanjutkan pembangunannya oleh Belanda dari Palembayan ke Bonjol dalam rangka Perang Paderi. Ketiga, jalan yang melewati Nagari Padanglua di sebelah Selatan Bukittinggi. Jalan yang relatif bagus dan mengitari Ngarai Sianok itu dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar akhir abad ke-19. Meskipun demikian, penduduk Nagari Koto Gadang, Guguak, dan Sianok yang letaknya berseberangan dengan Bukittinggi masih memanfaatkan jalur yang pertama karena lebih efisien dan ekonomis. Jalan inilah yang selalu ditapaki oleh anak-anak Koto Gadang yang bersekolah di Bukittinggi. K.A. James, “De Nagari Koto Gadang”, TBB No. 49 Tahun 1915, hlm. 185. Nagari itu terkenal dengan golongan profesionalnya dan tokoh-tokoh Nasional banyak yang berasal dari Nagari Koto Gadang, di antaranya H. Agus Salim, Rohana Koedoes, St. Syahrir, dan Prof. Emil Salim.

15 J.L. Cluysenaer, “Mededelingen Omtrent de Topographie van een Gedeelte der Padangsche Beneden- en Bovenlanden”, Tijdscrift Aardrijkskundig Genootschap, No. ? Tahun 1879, hlm. 228.

16 Hal itu termaktub dalam Tambo dan disebutkan dalam pepatah: dari mano titiak palito/dari telong nan barapi. Dari mano niniak kito/dari pinggang Gunuang Marapi. (Dari mana titik pelita/dari Talang yang berapi/dari mana nenek moyang kita/dari pinggang Gunung Merapi.), Ahmad Dt. Batuah dan

A. Dt. Madjoindo, Tambo Minangkabau dan Adatnya (Djakarta: Balai Pustaka, 1956), hal. 13.

17 Istana Negara yang terletak di Bukittinggi juga dinamakan Tri Arga dan sekarang dinamakan dengan Istana Negara “Bung Hatta”.

18 Christine Dobbin, op. cit., hlm. 5-6

19 Pasar disebut oleh orang Minangkabau dengan pakan. Oleh karena pakan itu dilaksanakan sekali seminggu, maka seminggu disebut pula dengan sapakan. Biasanya setiap nagari memiliki pakannya masing-masing dan jika pakan itu berdekatan, maka hari pelaksanaannya harus berbeda. Selain itu, pasar sering juga disebut dengan balai, karena diadakan di lapangan dekat Balai Adat Nagari. A.A. Navis, op cit. hlm. 92. Lihat juga Datoek Soetan Maharadja, “Tambo dan Oendang-oendang Adat Alam Minang Kabau” dalam Adatrechtbundel, Bagian V, Jilid XXVII, Tahun 1928, hlm. 304-306.

20 . Nagari Kurai merupakan salah satu nagari yang terletak di daerah Luhak (sekarang Kabupaten) Agam dan terdiri dari Lima Jorong, yaitu Kelima Jorong itu adalah Jorong Tigo Baleh, Jorong Mandiangin, Jorong Koto Selayan, Jorong Aua Birugo, dan Jorong Guguak Panjang. Oleh karena itu nagari itu sering pula disebut dengan Nagari Kurai V Jorong. Mohamad Hadjerat, Sedajarah Negeri Kurai V Djorong serta Pemerintahannya, Pasar dan Kota Bukittinggi (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1947), hlm. 4.

21 Sekarang pasar itu dinamakan Pasar Atas dan menjadi jantung Kota Bukittinggi.

22 A. Knottenbelt, “De Rechtstoestand van de Gronden, waarop de Passer t Fort de Kock is Opgericht’, KT No. 30 Tahun 1941, hlm. 325. Pada perkembangan berikutnya pasar Bukittinggi itu berkembang menjadi “milik” orang Agam, sehingga tersebutlah Bukittinggi Kota Rang Agam (Bukittinggi Kotanya Orang Agam).

23 Nama de Kock diambil dari Baron Hendrik Markus de Kock, Komandan Militer dan Wakil Gubernur Jendral Hindia Belanda pada waktu itu. D.H. Bercer, “Aan merkingan gehouden op een Reize door eenige Districten Padangsche Bovenlanden”, Verhandelingen van het Koloniaal instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, No. 16 Tahun 1939, hlm. 181-182. Oleh karena itu Pemerintah Hindia Belanda menyebut daerah itu secara resmi dengan Fort de Kock, sedangkan masyarakat Minangkabau tetap menenyebutnya dengan Bukittinggi. A. Pruys van der Houven, Een Woord over Sumatra in Brieven Verzameld en Uitqeqeven, (Rotterdam: H. Nijgh, 1864), hal. 18.

24 Mohamad Hadjerat, Sedajarah Negeri Kurai V Djorong serta Pemerintahannya, Pasar dan Kota Bukittinggi (Bukittinggi: Tsamaratul Ikhwan, 1947), hlm. 41.

25 Ibid.

26 Ibid. hal. 42-43.

27 Besluit van Gouverneur Generaal, No. 37, tanggal 5 Mei 1861.

28 Besluit van Gouverneur Generaal, No. 1, tanggal 1 Desember 1888.

29 Staatsblad van Nederlandsch-Indie, No. 310 Tahun 1918.

30 Besluit van Gouverneur Generaal, No. 25, Tanggal 20 Mei 1930.

31 Ibid.

32 Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hlm. 29.

33 Harry J. Benda, et. Al., Japanase Militery Administration in Indonesia: Selected Documents

(Yale University Southeast Asian Studies, 1965), hal. 66.

34 Lembaran Negara Republik Indonesia No. 221, Tahun 1947.

35 Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hlm. 35-37.

36 Teks “Naskah Kayu Kalek”’ Bukittinggi, 29 Mei 1947 terdapat dalam lampiran buku Mohamad Hadjerat (1950).

37 Mohamad Hadjerat, op. cit., hlm. 3.

38 Kondisi pasar ini masih terlihat oleh M. Buys, Twee Jaren op Sumatra’s Westkust (Amsterdam:

A. Akkering, 1886),  hlm. 47-53. Sejak awal abad ke-20 Pasar Bukittinggi diselenggarakan dua kali seminggu, selain setiap hari Sabtu juga pada setiap hari Rabu.

39 Ibid.

40 A. Kottenbelt, “De Rechtstoestand van de Gronten warop de Pasar te Fort de Kock is opgericht”, KT, No. 30, Tahun 1941, hlm. 330-335.

41 Akan tetapi, pihak penghulu Nagari Kurai mulai tidak diikutsertakan dalam pembangunannya. Pemerintah Hindia Belanda mengklaim bahwa wilayah itu sudah berada di bawah kekuasaannya karena sudah dibeli atau diberikan oleh para penghulu itu sebelumnya.

42 Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hlm. 40.

43 Dana dari Singgalang Fonds pada awalnya berasal dari penduduk daerah Dataran Tinggi. Mereka diwajibkan membayar jika tidak dapat melakukan kerja rodi untuk membuat jalan Lembah Anai. Nama Singgalang Fonds diambil karena sungai yang mengalir di Lembah Anai berasal dari Gunung Singgalang. Dana ini terus bertambah seiring dengan banyaknya jalan-jalan yang dibangun. Dana itu dignakan untuk membiayai pembuatan jalan-jalan lainnya di daerah Dataran Tingii. Elizabeth E. Graves, op. cit., hlm. 222.

44 Peraturan mengenai rodi di Sumatera Barat, dapat dilihat dalam Staatsblad van Nederlandsch- Indie Tahun 1877 No.708 dan Staatblad van  Nederlandsch-Indie Tahun 1914 No. 731.

45 A. Kottenbelt, op. cit., hlm. 331-335.

46 Ibid.

47 Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hlm. 43-44.

48 Ibid.

49 Maco adalah sejenis ikan kecil yang telah dikeringkan dan sangat digemari oleh penduduk nagari sekitar Bukittinggi.

50 Mohamad Hadjerat (1947), op. cit., hlm. 23.

51 Besluit van Gouverneur Generaal, No. 13 Tanggal 1 Aapril 1856. “Kweekschool” Bukittinggi ini merupakan Sekolah Guru yang pertama didirikan di Luar Jawa. Berturut-turut Kweekschool yang didirikan di Hindia Belanda adalah Kweekschool Surakarta (1852), Bandung (1866), Tondang (1873), Ambon (18740, Probolinggo (1875), Banjarmasin (1875), dan Padangsidempuan (1879). Rusli Amran, Ibid., hlm. 176.

52 Oleh karena untuk membedakannya “Kweekschool Bukittinggi pra Sekolah Raja atau sebelum tahun 1873 diberi tanda petik, sedangkan Kweekschool atau Sekolah Raja Bukittinggisesudah tahun 1873 diberi garis bawah.

53 Rumah Sekolah lama yang terletak di dekat kuburan Belanda dijadikan rumah Sekolah Nagari, yang diberi nama Sekolah agam. Sekolah Agam ini dijadikan tempat praktek bagi murid-murid Kweekschool Bukittinggi. Ibid. hlm. 24-25.

54 Murid-murid sekolah itu, selain diasramakan juga diberi uang buku, uang saku, pakaian, dan fasilitas penunjang lainnya. Mereka diharuskan pula berpakaian rapi: baju dan celan putih, pakai peci atau dester, selempangan, dan sepatu. Mereka harus menjaga penampilan di tempat-tempat umum, sehingga keberadaan mereka tampak berbeda daari lingkungannya. Semua murid harus mentaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Sekolah. Lihat “Huishoudelijk Reglement” dalam Ibid., hlm. 59-65. Sungguihpun demikian hal itu menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi semua murid itu, yang berasal dari anak-anak pejabat bumiputera, elite tradisional atau orang kaya, kemudian setelah tamat pun langsung diterima bekerja pada kantor pemerintah atau swasta. Masyarakat menilai perlakuan yang diberikan itu sebagaimana halnya dengan anak raja, sehingga sekolah itu disebutnya dengan Sekolah Raja. Lihat Elizabeth E. Grave, op. cit., hlm. 112-117.

55 R. Freiderich, Gedenboek Samengesteld bij Gelegenheid van het 35-jarig bestaan der Kweekschool voor Inlandsche Onderwijjzers te Fort de Kock (Arnhem: Threme, 1908), hlm. 19. 

56 Untuk mendukung kelancaran proses belajar mengajar pemerintah Hindia Belanda bahwa guru  Kweekschool terdiri dari: 1). Seorang guru Belanda, yang menjadi kepala; 2) Seorang guru Belanda, yang menjadi guru kedua; 3) Seorang guru Belanda, yang menjadi guru ketiga; 4) Seorang atau beberapa orang guru Melayu. Besluit van Gouverneur Generaal No. 275, tanggal 16 Desember 1872.

57 Sekarang kompleks sekolah itu menjadi kompleks SMA Negeri 2 Bukittinggi, yang terletak di Jalan Sudirman.

58 Secara berangsur-angsur 6 Kweekschool lainnya secara perlahan akan dihapuskan, mulai dari Kweekschool Muara Enim, Unggaran, Probolinggo, Bukittingi, dan Magelang. Aboen Goeroe-Goeroe No. 6 Juni 1927, hlm. 61.

59 Biaya itu belum termasuk upah tukang, yang diperkirakan sebanyak F. 6.000,-. Perkiraan biaya ini disebabkan oleh sebagian tukang terdiiri dari orang-orang hukuman yang diambil dari penjara Bukittinggi. Konttenbelt, op. cit., hl. 320-321.

60 Mohammad Hadjerat, op. cit., hlm. 50-51.





Komentar

Acap Dilihat

39. Los Saudagar

Los Saudagar atau Lorong Saudagar atau masyarakat Bukittinggi dan Agam juga mengenalnya dengan nama Balakang Pasa ialah komplek bangunan ruko peninggalan kolonial yang masih bertahan di Bukittinggi. Pada gempa tahun 2006, sebagian besar dari bangunan ruko disini hancur dan hanya menyisakan puing-puing. Kini hanya sebagian kecil dari bangunan yang masih bertahan. Komplek bangunan ini telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 dengan Nomor  Nomor PM.05/PW.007/MKP2010 . ====================== Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan `belakang pasar` yang dibangun pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang¬barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blo

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Lomba Vlog untuk Umum

  Halo, Sahabat Nusa! Kamu suka videografi? Sering membuat konten video vlogging atau semacamnya di media sosial kamu? Pas sekali, agaknya! Kali ini Nusa akan mewadahi bakatmu dalam sebuah lomba vlog :) Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat dalam merevitalisasi potensi Jalur Rempah serta meningkatkan pemahaman dan pemaknaan Jalur Rempah, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan kegiatan lomba Vlog di kompetisi Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia!

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.