Langsung ke konten utama

Sejarah Benteng Tanjung Alam di Agam

 Disalin dari Poestaha Depok

Di Agam tidak hanya benteng Fort de Kock di Bukittinggi, juga ada benteng di Tandjoeng Alam. Benteng Tandjoeng Alam adalah benteng penghubung antara benteng Fort van der Capellen di Batusangkar dengan benteng Fort di Kock di Bukittinggi. Tiga benteng ini memiliki peran penting membebaskan Padangsche Bovenlanden (Minangkabau) dari pengaruh Padri.

Benteng Fort de Kock dan Bneteng Tandjoeng Alam (Pet 1835)

Benteng Fort van der Capellen dibangun pada tahun 1822 di bawah komandan militer Raaff. Sedangkan benteng Fort de Kock dibangun pada tahun 1825. Benteng yang dibangun di dekat Pagaroejoeng disebut benteng van der Capellen sesuai nama Guebernur Jenderal Hindia Belanda, GAGPh van der Capellen (1816-1826). Jenderal Hendrik Merkus de Kock adalah pimpinan militer Hindia Belanda yang mengirim Raaff ke pantai barat Sumatra. Pengiriman Raaff ini untuk membantu Asisten Residen yang berkedudukan di Tapanoeli yang saat itu Majoor GLC Rochmaler bermarkas di Natal dan Kapitein C Bauer bermarkas di Padangsche Bovenlanden (Simawang). 


Benteng Tandjoeng Alam tidak hanya berperan dalam membebaskan Padri dari district Tanah Datar dan district Agam, benteng Tandjoeng Alam (bersama benteng Fort de Kock) juga berperan penting dalam mengepung pusat Padri di Bondjol. Namun hanya sejarah benteng Fort de Kock yang kerap ditulis, sementara benteng Tandjoeng Alam di selatan dan benteng Elout di utara (Panjaboengan) kurang terinformasikan dengan baik. Benteng Fort Elout di Panjaboengan berperan dalam membebaskan pengaruh Padri di Mandailing en Angkola. Untuk menambah pengetahuan tentang benteng,  mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.


Benteng Fort de Kock, 1825
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Benteng Fort de Kock dan Benteng Fort van der Capellen
Dimana benteng Fort de Kock di Bukittinggi berada pada masa ini sudah jelas karena situsnya masih eksis. Namun dimana posisi GPS situs benteng Tandjoeng Alam pada masa ini masih sulit diketahui. Sebagaimana lazimnya, benteng dibangun di tempat strategis, dalam hal ini berada di persimpangan antara Fort de Kock dan Fort van der Capellen dan Paijakoemboe, besar dugaan benteng Tandjoeng Alam berada di Baso.

Benteng adalah awal koloni Belanda di suatu wilayah. Pada awal kolonisasi, benteng tidak hanya pusat pertahanan tetapi juga pusat perdagangan dan pusat pemerintahan. Pada awal kolonisasi (Pemerintah Hindia) Belanda tahun 1819 di Ranah Minangkabau berpusat Tapanoeli (kedudukan Asisten Residen WJ Waterloo). Para komandan militer ditempatkan di sejumlah tempat strategis: Majoor GLC von Rochmaler di Padang (Padangsche Benelanden) dan Kapitein C Bauer di Padang (Padangsche Bovenlanden). Di dua tempat ini sudah sejak lama di era VOC ada benteng (benteng Padang dibangun oleh Belanda dan benteng Natal dibangun oleh Inggris). Tiga nama ini berasal dai tiga bangsa yang berbeda: Inggris (Waterloo); Jerman (Rochmaler) dan Belanda (Bauer). Mengapa demikian? Pengaruh Inggris masih sangat kuat di kota-kota Pantai termasuk di kota Padang karena itu asisten residen Waterloo orang Inggris dan Rochmaler adalah tentara profesional asal Jerman. Penempatan Bauer orang Belanda di pedalaman adalah misi utama Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.

Para komandan berpangkat letnan ditempatkan di Pariaman, Agam, Samawang dan Padang Ganting. Dalam hal ini Kapitein Bauer membawahi tiga letnan: Cremer di Agam, von Ochsee di Samawang dan van Haersolte di Padang Ganting. Dalam hal ini Pariaman adalah pelabuhan antara Natal dan Padang. Tiga letnan inilah yang merintis pembangunan benteng yang kemudian disebut benteng Fort de Kock, benteng Samawang dan benteng Padang Ganting. Setelah militer yang dipimpin oleh Kapitein Bauer berhasil membebaskan Pagaroejoeng dari pengaruh Padri dibangun benteng baru di sebelah barat Pagaroejoeng yang kemudian dikenal benteng Fort van der Capellen. Oleh karena nama benteng merujuk pada nama petinggi Belanda maka benteng Fort van der Capellen dan benteng Fort de Kock adalah benteng besar (benteng utama) di pedalaman Ranah Minangkabau. Benteng Samawang dan benteng Padang Ganting diakses dari Padang melalui Solok dan Sawahloento. Sedangkan benteng di Agam (Fort de Kock) diakses dari Padang (via) Padang Pandjang dan dari Tikoe via Loeboek Basoeng-danau Manindjaoe.

Nama benteng Tandjoeng Alam berada di Baso jelas pada masa ini agak membingungkan. Sebab pada masa ini dua kota tersebut berada pada jalur yang sama tetapi berlokasi di area-wilayah yang berbeda. Oleh karena arah pergerakan militer dari selatan dan dari barat maka dibutuhkan satu benteng tambahan (hub) diantara benteng Fort van der Capellen dan benteng Fort de Kock. Hal ini diduga sehubungan dengan pemberukan pemerintahan dipil di Padangsche Bovenlanden tahun 1830 dimana Asisten Residen berkedudukan di Fort van der Capellen. Benteng baru ini berada pada posisi GPS di Tandjoeng Alam (karena itulah disebut namanya benteng Tandjoeng Alam).

Pertempuran di Tandjoeng Alam (1832)
Penjelasan ini diperkuat dari satu laporan militer pada tahun 1832 yang mana Kapitein de Quaij (Fort van der Capellen) memerintah pasukan di benteng Tandjoeng Alam (Agam) yang dipimpin Letnan Bouman pada tanggal 11 April untuk merangsek ke Biaro, sementara Kapitein Veldman (Fort de Kock) membawa pasukan dengan dua penembak jitu (lihat Javasche courant, 10-07-1832). Pada tanggal 12 April kampung yang dibentengi di Kapauw berhasil dikalahkan. Di Kota Baroe telah terkonsentrasi pasukan yang dipimpin oleh Towanko Tjerdik yang membantu dari Bondjol, Salah satu pemimpin Padri tewas dalam pertempuran ini yakni Towanko die Goelan, salah satu pemimpin dan pengikut yang paling setia, dari Towanko di Messian. Di pihak Belanda beberapa terluka parah, termasuk letnan E Maxwel. Dalam hal ini, posisi benteng Tandjoeng Alam besar dugaan bahwa jalan dari Fort van der Capellen kala itu tidak langsung menuju Baso yang sekarang tetapi melalui Tjandoeang terus ke barat ke Ampat Angkek lalu ke Tandjoeng Alam. Jalan Kota Baru dari Padang Pandjang ke Tandjoeng Alam sendiri pada masa ini adalah jalan yang dibangun kemudian sebagai jalan akses.

Setelah district Agam berhasil dibebaskan dari pengaruh Padri, perhatian kemudian ditujukan ke district Lintau dimana terdapat para pengikut Padri. Usai perang penduduk Agam mulai bekerja di sawah ladang dengan tenang. Distrik Agam selain memiliki dua benteng (Fort de Kock dan Tandjoeng Alam) juga didukung benteng dari selatan (Fort van der Capellen) dan dari timur benteng Paijakoemboe.

Akhirnya militer Belanda telah berhasil membebaskan district Lintau dari pengearuh Padri (lihat Journal de La Haye, 09-02-1833). Disebutkan berdasarkan berita di Batavia 11 September 1832 bahwa pada tanggal operasi militer telah berhasil di Lintau yang berakhir pada tanggal 30 Juli.

Benteng Tandjoeng Alam dan Benteng Elout

Bersamaan dengan berakhirnya operasi militer di Lintau pada tahun 1832, untuk persiapan ke wilayah Bondjol didatangkan pasukan dari Jawa yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout (lihat Journal de La Haye, 09-02-1833). Para pasukan ini sebagian ditempatkan di Batoesangkar (Fort van der Capellen) dan sebagian yang lain Elout membawanya sendiri ke Agam (Fort de Kock). Penempatan ini dimaksudkan untuk melakukan operasi militer di Marapalam sebelum kekuatan diarahkan ke Bondjol.

Letnan Kolonel Elout membangun garnisin militer di Biaro. Elout ditemani oleh Letnan Kolonel Vermeulen-Krieger dan Kapitein De Quaij dan Kapitein Hellwig. Pasukan Elout didukung pasukan pribumi asal Melayu.

Seperti halnya keluarga kerajaan Pagaroejoeng meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan pengaruh Padri, pada tahun 1833 radja-radja di Mandailing dan Angkola dibawah pimpinan Radja Gadoembang meminta bantuan Pemerintah Hindia Belanda untuk membebaskan pengaruh Padri dari Mandailing en Angkola.

Para hulubalang Pagaroejoeng membantu militer Belanda mengusir pasukan-pengikut Padri dari Minangkabau juga ikut serta dalam pengepungan Padri di benteng Bondjol. Seperti kita lihat nanti para hulu balang Mandailing dan Angkola membantu membebaskan pengaruh Padri di Mandailing en Angkola juga ikut membantu militer Belanda dalam pengepungan benteng Bondjol (yang dipimpin Tuanku Imam Bondjol). Para hulubalang Pagaroejoeng, Mandailing en Angkola dan para hulubalang Padang Lawas juga ikut mendukung militer Belanda dalam pengepungan benteng Daloe-Daloe (yang dipimpin Tuanku Tambusai), Benteng Elout (Peta 1843)

Dalam pengepungan kekuatan Padri yang berpusat di Bondjol Pemerintah Hindia Belanda membangun sejumlah benteng. Salah satu benteng yang dibangun adalah benteng di Panjaboengan yang kemudian dikenal sebagai benteng Fort Elout (nama Komisaris Jenderal Mr. Cornelis Theodorus Elout). Benteng lainnya yang dibangun dekat dengan posisi GPS benteng Bondjol adalah benteng Amorangan di Rao.

Benteng-benteng ini didukung oleh tiga garnisun militer yang telah dibangun di Air Bangis, Pariaman dan Natal. Tiga benteng di kota pantai ini sudah ada sejak era VOC dan kemudian diperkuat sehubungan dengan eskalasi politik yang semakin meningkat di pedalaman antara kaum Padri dan radja-radja adat di satu pihak dan di pihak lain antara pasukan Padri dengan militer Belanda.


Komentar

Acap Dilihat

Pasar di Bukittinggi dlm Kenangan Bung Hatta

Selain dari pedagang  yang datang menjualkan barangnya, tidak sedikit pula jumlah orang yang datang berbelanja dari kota-kota kecil atau dusun-dusun sekitar Bukittinggi. Selain dari tempat berjual beli, pasar itu tempat pesiar. Dikunjungi pula oleh beratus-ratus orang dari jauh datang bertamasya ke sana untuk menghilangkan perasaan sunyi yang menghinggapinya pada tempat tinggalnya. Foto selengkapnya silahkan klik disini Like & Follow:  Bukittinggi Culture, History, & Arts Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Museum Rumah Adat Nan Baanjuang Peninggalan Sejarah Bukittinggi Join Our FB Group: Bukittinggi Culture, History, & Arts Follow Our Instagram: Bukittinggi Culture, History, & Arts Join Our WAG: Konco Budaya

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Pacuan Kudo Bukik Ambacang

padangheritage   Catatan  @padangheritage : Bukit Ambacang, Lokasi Pacuan Kuda Tertua di Indonesia Olahraga pacu kuda sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan masyarakat bukittinggi jauh sebelum indonesia merdeka. Salah satu peninggalannya adalah Klub Pacu Kuda Bukittinggi yang sudah ada sejak Tahun 1889. Tulisannya termuat di sebuah tugu di dalam arena: Herdenking Van Het Veertig Jariigbestan der Fort de Koksche Wedloop Societeit 1889-1929 (Peringatan 40 tahun berdirinya klub pacu kuda Bukittinggi)

72. Rumah Wakidi

  Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, kemudian mereka bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan semakin berkembang bakatnya itu ketika tahun 1903 Wakidi bersekolah di   Kweekschool   (sering disebut Sekolah Raja - sekolah guru) Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar melukis dengan bimbingan guru, terutama ia melukis tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 ia mengajar di sekolah menengah di Bukit Tinggi.

12. Tugu PDRI

Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Engku Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo[1]. Tugu ini dibangun untuk mengenang Bukittinggi pernah memainkan peran sangat penting dimasa revolusi kemerdekaan yakni mejadi Ibu Kota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jogjakarta pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.