Langsung ke konten utama

Kisah Cinta Bung Hatta

Gambar Ilustrasi: perpusnas

 Disalin dari kiriman FB Histori & War Indonesia


Berbeda dengan Soekarno dimana ia sangat piawai dalam berbicara dengan wanita dan dikagumkan. Hatta justru dikenal dengan sosok pemalu bahkan dengan wanita sekalipun.
Didalam buku "Seratus Tahun Bung Hatta" yang tertulis oleh Meutia Farida Hatta yang tercantum bahwa Bung Hatta yang sudah berjuang untuk kebebasan dan Kemerdekaan Indonesia sejak muda ini dengan resiko bagaimanapun telah bersumpah tidak akan menikah selama Indonesia belum Merdeka.
Dengan adanya sumpah ini ia terus memegang prinsipnya dengan kuat, walaupun begitu hal ini bukan isapan jempol semata, dikatakan Bung Hatta pernah mengenal beberapa wanita jelita pada masa itu dan saat bersekolah di Belanda juga terdapat banyak mahasiswi ingin mendekatinya. Namun tetap saja Hatta tidak akan tergoda dengan ajakan menikah meskipun ada pula usaha teman temannya untuk menjodohkan dirinya dengan wanita lain yang dikira cocok.
Ia yakin bahwa pendidikan yang sedang ia tempuh merupakan pondasi baginya dalam melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah. Prinsip hidup Hatta muda itu nyatanya pernah menenggelamkan kisah cintanya dengan seorang perempuan cantik bernama Anni, anak Teuku Nurdin, penerjemah pemerintah Nangroe Aceh Darussalam. Anni bukan perempuan biasa, ia adalah seorang nasionalis, aktivis perempuan yang juga ikut andil dalam Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung. Keduanya lantas menjalin kasih hingga sudah bertunangan, namun Hatta dan Anni memutuskan untuk berpisah dan tak berjodoh hingga ke pelaminan karena pendirian Hatta yang masih kuat tentang pantang menikah sebelum Indonesia Merdeka akhirnya Anni kemudian menikah dengan kawan dekat Bung Karno, Abdul Rachim. Dari pernikahan tersebut Anni dikaruniai dua orang putri, Rachmi dan Titi.
Ketika impian perjuangan Bung Hatta terhadap Indonesia Merdeka terwujud pada 17 Agustus 1945, maka perjuangannya saat itu sudah mencapai final dan beralih ke urusan lain dimana yang salah satu ikrar yang telah ia janjikan "tidak akan menikah sebelum Indonesia Merdeka".
Setelah Indonesia Merdeka, Soekarno sempat khawatir dan gelisah melihat Bung Hatta yang masih terus lajang diusianya 40 tahunan bahkan ketika Indonesia sudah Merdeka. Oleh sebab itu Soekarno tidak mau melihat sahabat perjuangannya itu harus lajang seumur hidup maka Soekarno melakukan cara agar Hatta bisa menikah. Saat Soekarno menanyakan sosok perempuan yang memikat hatinya, nama Rahmi Rachim pun muncul yaitu anak pertama dari mantannya sendiri yaitu Anni.
Bung Hatta sempat ragu untuk mengungkapkan niatnya untuk meminang gadis pujaannya kepada sang sahabat, tetapi Soekarno demi cintanya Hatta maka Soekarno pun langsung melamar Rachmi untuk Bung Hatta.
Ditemani oleh R. Soeharto, keduanya mendatangi rumah Anni yang tentu terkejut karena lelaki yang dulu memutuskan kisah cinta dengannya kini justru melamar putrinya. Terlebih usia Bung Hatta dan putrinya terpaut cukup jauh, Bung Hatta kala itu berusia 43 tahun dan Rachmi baru menginjak usia 19 tahun. Bung Hatta tak ubahnya seperti om atau bahkan ayah bagi Rachmi.
Ia kemudian meminta waktu untuk berdiskusi dengan anak perempuannya tersebut sebelum menjawab lamaran. Sebelum berpamitan, Bung Karno kembali meyakinkan Anni, “Hatta orang yang baik. Ia pemimpin yang baik dan ia adalah teman baik saya sendiri.” Bung Karno juga menutup kunjungannya dengan berpesan pada sang calon, Rachmi, “Dia laki-laki yang baik dan berprinsip tinggi. Yakinlah kamu tidak akan kecewa.”
Akhirnya lewat bantuan sahabatnya yaitu Soekarno, Hatta pun mendapatkan pasangan hidupnya dimana keluarga Anni telah menerima lamaran tersebut. Keduanya menikah pada tanggal 18 November 1945 di Bogor, Bung Hatta telah menepati janjinya pada Indonesia yang berisi pantang menikah sebelum Indonesia merdeka. Kisah cinta Bung Hatta tak berhenti di situ saja, Mahar yang ia berikan pada Rachmi sungguh istimewa.
Sebuah buku berjudul Alam Pikiran Yunani, buku itu ia tulis ketika ia diasingkan di wilayah Digul sekitar tahun 1934. Rachmi memahami bahwa buku dan Hatta ibarat kepingan koin selalu bersama dan bersisian. Rachmi tak heran juga bahwa suaminya terkenal di Jepang dengan sebutan Gandhi dari Jawa.
Bukan hanya pintar, Hatta juga merupakan seseorang yang diduga romantis. Saat istrinya hendak melahirkan anak pertama, ia masuk ke kamar bersalin sambil membawa roti isi buatannya. Hatta juga selalu memberikan tempat di dalam mobil yang bebas dari terpaan sinar matahari saat berpergian dengan Rachmi. Keduanya telah dikaruniai 3 orang anak perempuan yaitu Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
"Setiap kesempatan yang kami jalani bersama terasa indah dan berharga, seperti serangkaian permata yang berharga," kata Rahmi.
Referensi:
- Noer, Deliar. (2012). Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa. Jakarta: Buku Kompas.
- Meutia Fardia Hatta. "Seratus Tahun Bung Hatta" (Jakarta. Kompas 2002).


Baca juga:

1. Bung Hatta

Komentar

Acap Dilihat

72. Rumah Wakidi

  Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, kemudian mereka bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan semakin berkembang bakatnya itu ketika tahun 1903 Wakidi bersekolah di   Kweekschool   (sering disebut Sekolah Raja - sekolah guru) Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar melukis dengan bimbingan guru, terutama ia melukis tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 ia mengajar di sekolah menengah di Bukit Tinggi.

Pasar di Bukittinggi dlm Kenangan Bung Hatta

Selain dari pedagang  yang datang menjualkan barangnya, tidak sedikit pula jumlah orang yang datang berbelanja dari kota-kota kecil atau dusun-dusun sekitar Bukittinggi. Selain dari tempat berjual beli, pasar itu tempat pesiar. Dikunjungi pula oleh beratus-ratus orang dari jauh datang bertamasya ke sana untuk menghilangkan perasaan sunyi yang menghinggapinya pada tempat tinggalnya. Foto selengkapnya silahkan klik disini Like & Follow:  Bukittinggi Culture, History, & Arts Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Museum Rumah Adat Nan Baanjuang Peninggalan Sejarah Bukittinggi Join Our FB Group: Bukittinggi Culture, History, & Arts Follow Our Instagram: Bukittinggi Culture, History, & Arts Join Our WAG: Konco Budaya

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Pacuan Kudo Bukik Ambacang

padangheritage   Catatan  @padangheritage : Bukit Ambacang, Lokasi Pacuan Kuda Tertua di Indonesia Olahraga pacu kuda sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan masyarakat bukittinggi jauh sebelum indonesia merdeka. Salah satu peninggalannya adalah Klub Pacu Kuda Bukittinggi yang sudah ada sejak Tahun 1889. Tulisannya termuat di sebuah tugu di dalam arena: Herdenking Van Het Veertig Jariigbestan der Fort de Koksche Wedloop Societeit 1889-1929 (Peringatan 40 tahun berdirinya klub pacu kuda Bukittinggi)

12. Tugu PDRI

Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Engku Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo[1]. Tugu ini dibangun untuk mengenang Bukittinggi pernah memainkan peran sangat penting dimasa revolusi kemerdekaan yakni mejadi Ibu Kota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jogjakarta pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.

Lomba Vlog untuk Umum

  Halo, Sahabat Nusa! Kamu suka videografi? Sering membuat konten video vlogging atau semacamnya di media sosial kamu? Pas sekali, agaknya! Kali ini Nusa akan mewadahi bakatmu dalam sebuah lomba vlog :) Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat dalam merevitalisasi potensi Jalur Rempah serta meningkatkan pemahaman dan pemaknaan Jalur Rempah, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan kegiatan lomba Vlog di kompetisi Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia!

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

20. Sekolah MULO (SMP N 3&4 Bukittinggi)

Ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Bukittinggi berdasarkan  SK Walikota No. 188.45-335-2021 Tanggal 30 Desember 2021 Bangunan SMP 3 dan 4 atau dahulu merupakan SMP 2 berada di Jalan Panorama, Kelurahan Kayu Kubu, Kecamatan Guguak Panjang . Berdasarkan keterangan yang didapat dari kepala sekolah, bangunan sekolah ini merupakan Sekolah MULO (sekolah menengah) pada masa Kolonial Belanda. Hingga tahun 1945 bangunan ini masih difungsikan sebagai sekolah menengah oleh pemerintah Indonesia. Setelah sekolah menengah di tiadakan kemudian pada tahun berikutnya beralih fungsi sebagai tempat percetakan "Oeang Republik Indonesia (ORI)".