Bukittinggi-Latar Belakang Budaya [2]
Ilustrasi Foto: tropen museum |
Keragaman Budaya
Kota Bukittinggi berada di Luhak Agam[1] yang merupakan salah satu dari 3 (tiga) negeri asal orang Minangkabau. Luhak Agam sebagai sebuah kawasan geografis dan budaya merupakan daerah yang terdiri atas federasi beberapa nagari yang plural karena masing-masing nagari yang terdapat dalam wilayah ini memiliki corak adat dan budaya khas yang menjadi pembeda dengan nagari tetangganya.
Terdapat 2 (dua) sistem kelarasan di Minangkabau. Koto Piliang dan Bodi Chaniago, kedua sistem ini merupakan sistem ketatanegaraan, falsafah, adat, sistem sosial, dan hukum di Minangkabau yang berpengaruh kepada bentuk penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan sosial dan budaya, struktur masyarakat, serta penerapan hukum.[2]
Sebelum bernama Bukittinggi, kota ini merupakan sebuah nagari yang bernama Nagari Kurai Limo Jorong yang menganut Sistem Kelarasan Koto Piliang. Nagari merupakan sistem pemerintahan terendah yang otonom di Minangkabau. Setelah berkembang menjadi sebuah kota, daerah ini mulai banyak dipengaruhi oleh kebudayaan dari luar Nagari Kurai. Pengaruh lebih banyak di bidang seni dan budaya, adapun dalam sistem pemerintahan tetap bertahan dengan Sistem Koto Piliang. Namun pengaruh-pengaruh yang datang tersebut masih berada dalam wilayah Kebudayaan Minangkabau terutama dari wilayah Luhak Agam.
Dalam kalangan masyarakat Luhak Agam sendiri Kota Bukittinggi dikenal dengan julukan “Koto Rang Agam” yang dapat diterjemahkan dengan bebas ialah Ibu Kota Orang Agam. Hal ini merujuk pada sejarah, peranan, dan perjalanan dari kota ini dalam kehidupan masyarakat Luhak Agam. Menjadi pusat pemerintahan bagi Luhak Agam semenjak zaman Kolonial Belanda hingga tahun 1992, karena semenjak itu Ibu Kota Kabupaten Agam dipindahkan ke Lubuk Basung. Namun peranan Kota Bukittinggi tetap bertahan sebagai pusat dari gerak kehidupan di Luhak Agam, terutama Agam Tua (Agam Timur).
Kota Bukittinggi merupakan Kota Beradat yang kehidupan masyarakatnya berlandaskan kepada falsafah; Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (Adat bersendi kepada Syarak - Syarak bersendi kepada Al Qur’an dan Hadist). Masyarakatnya sendiri homogen dengan mayoritas ialah penduduk yang menganut kebudayaan Minangkabau.
_____________________________________
Catatan Kaki:
[1] Lihat Catatan Kaki No.1 pada tulisan Bag.1
[2] Diluar kedua kelarasan tersebut, terdapat satu kelarasan bernama Lareh Nan Panjang yang didirikan oleh Dt. Sikapal Dunia, adik bungsu dari Datuak Katumangguangan dan Dt. Parpatiah nan Sabatang. Lareh Nan Panjang memadukan sistem dari kedua kelarasan ini. Selengkapnya baca A.A. Navis. Alam Takambang Jadi Guru. Atau silahkan kunjungi:
a. Mazhab Ketatanegaraan Di Minangkabau
b. Kelarasan Ketiga di Minangkabau
Disalin dari dokumen PPKD Kota Bukittinggi Halaman 7 s/d 9
Komentar
Posting Komentar