Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20
Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse.
Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan.
Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat militer yang sedang menjalankan tugas negara. Keberadaan pasanggrahan sangat dibutuhkan saat itu karena seringnya para pejabat atau ambtenar atau aparat militer melakukan perjalanan untuk mengawasi atau mengontrol daerahnya.
Pesanggrahan dibangun oleh masyarakat di lokasi pasanggrahan berada. Dibangun penduduk di bawah pengawasan pemerintah setempat dengan cara kerja wajib (kerja paksa [rodi]). Tidak hanya proses pembangunannya, bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembangunannya juga disediakan oleh penduduk setempat. Pola pembangunan secara kerja paksa ini sesungguhnya telah dihapuskan tahun 1882, tetapi di beberapa daerah, dengan berbagai alasan, pola pembangun secara corvee ini tetap dilakukan hingga awal abad ke-20.
Sebuah pasanggrahan biasanya memiliki dua sampai empat buah kamar untuk tamu dan satu atau dua kamar untuk pengelola pasanggarahan. Pasanggarahan juga dilengkapi dengan ruang tamu, ruang makan, kamar mandi, kakus (WC), dapur, kandang kuda atau garase mobil, dan halaman yang cukup luas serta terawat rapi.
Seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang datang, maka pasanggarahan juga dijadikan sebagai tempat menginap mereka. Perubahan fungsi ini mulai berlaku secara umum sejak perempat terakhir abad ke-19. Hal ini dimungkinkan karena pasanggarahan sering kosong. Pemanfaatan pasanggarahan oleh para pelancong juga bisa dijadikan sebagai upaya mendapatkan dana untuk biaya perawatan, pengelolaan dan operasional pasanggarahan.
Sumatera Barat adalah satu daerah di Hindia Belanda yang memiliki pasanggarahan. Tidak ada atau belum diperoleh informasi kapan pertama kali pasanggarahan dibangun di daerah ini. Namun, dalam berbagai buku panduan wisata dan catatan perjalanan yang ditulis sejak dekade terakhir abad ke-19, diketahui bahwa ada banyak pasanggrahan di daerah ini. Bahkan bisa dikatakan Sumatera Barat adalah salah satu daerah yang memiliki pasanggrahan terbanyak di Hindia Belanda.
Banyaknya jumlah pasanggarahan di Sumatera Barat berhubungan dengan mantapnya penguasaan daerah ini oleh pemerintah Hindia Belanda. Mantapnya penguasaan daerah diiringi dengan eksploitasi ekonomi dan penetrasi budaya. Salah satu wujud eksplotasi ekonomi dan penetrasi budaya yang paling penting adalah Tanam Paksa Kopi dan introduksi pendidikan Barat. Untuk mengontrol pelaksanaan Tanam Paksa Kopi dan jalannya proses pendidikan maka sibuklah pejabat, ambtenar dan juga aparat militer melakukan kunjungan ke lapangan. Dalam kaitannya dengan tingginya kunjungan lapangan itulah dibangun banyak pasanggrahan di Sumatera Barat.
Seiring dengan dijadikannya Sumatera Barat sebagai satu daerah tujuan pelancongan utama di luar Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20, maka pasanggrahan ini mulai difungsikan sebagai sebagai tempat menginap para pelancong.
Menurut buku Pasanggrahan in Nederlandsch Indie,pernah ada sebanyak 64 buah pasanggrahan di Sumatera Barat. Dari jumlah itu, pada saat buku itu diterbitkan (1902), ada beberapa pasanggrahan tidak dioperasikan lagi.
Namun, ada sesuatu yang menarik dari keberadaan pasanggaran di Sumatera Barat. Buku itu menginformasikan, bahwa di samping milik pemerintah, di Sumatera Barat juga ada sejumlah pasanggarahan milik nagari atau milik pasar.
Seiring dengan semakin bergairahnya dunia pelancongan Sumatera Barat dan semakin banyaknya wisatawan yang datang, maka kebutuhan akan tempat menginap juga semakin tinggi. Sehubungan dengan itu sejumlah pasanggrahan baru dibangun. Pasanggrahan dibangun di banyak tempat dan hampir merata di seluruh Residentie van Sumatera’s Westkust (yang wilayahnya pada tahun juga mencakup Kabupaten Kampar dan Kerinci dewasa ini).
Gairah pembangunan pasanggarahan tersebut menyebabkan terjadinya lonjakan yang cukup tajam dalam jumlahnya di Sumatera Barat. Menurut buku Handboek voor Toerisme in Nederlandsch-Indie(1938) jumlahnya sebanyak 79 buah.
Berikut ini adalah lokasi di mana pasanggarahan itu pernah ada (disajikans ecara alfabetis):
- Abai,
- Air Bangis,
- Air Busuak,
- Alahan Panjang,
- Aur Duri,
- Asam Kumbang,
- Balai Selasa,
- Bangkinang,
- Baso,
- Barauh Gunuang,
- Batu Bersurat,
- Batu Mengaum,
- Bukit Sileh,
- Buo,
- Bonjol,
- Fort van Capellen,
- Indrapoera,
- Kayu Tanam,
- Kubang Nan Dua,
- Koto Alam,
- Koto Baru,
- Koto Tinggi,
- Kiawai,
- Lol,
- Lubuak Alai,
- Lubuk Basung,
- Lubuk Selasih,
- Lubuk Sikaping,
- Malalak,
- Manindjau,
- Matur,
- Malampah,
- Muara Kiaruk,
- Muara Labuh,
- Muara Soko,
- Ujung Gading,
- Ulu Aia,
- Painan,
- Panti,
- Paringin,
- Pariaman,
- Pasar Kuok,
- PasarTikoe,
- Pasir Ganting,
- Palembayan,
- Pulau Punjung,
- Pulau Balai,
- Pulau Gadang,
- Rangkmaing,
- Sulus,
- Rao,
- Sasak,
- Sialang,
- Sijunjung,
- Sarilamak,
- Silaut,
- Simiso,
- Simpang Tonang,
- Singkarak,
- Surantih,
- Sitiung,
- Suka Menanti,
- Sungai Dareh,
- Sungai Langsat,
- Sungai Penuh,
- Sungai Sangkai,
- Surian,
- Solok,
- Tabek Patah,
- Talu,
- Tanjung,
- Tandjong Balik,
- Tanjung Bonai Balik,
- Tanjung Gading,
- Tanjung Pauh,
- Tanjung Balik,
- Tapan,
- Tarantang, dan
- Tarusan.
Secara umum para pelancong membooking kamar pasanggrahan terlebih dahulu. Pemesanan lazimnya dikirim melalui pos. Namun, sering juga wisatawan datang langsung tanpa mengajukan pemesanan terlebih dahulu.
Setiap tamu yang menginap dikenai biaya. Ada dua pola pembayaran yang lazim diperkenalkan. Pola pertama, tamu dikenai empat jenis pembayaran, yaitu sewa kamar, sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Pola pembayaran pertama ini umumnya diperkenalkan oleh pasanggrahan yang telah dikelola secara relatif profesional, tinggi tingkat huniannya, dan memiliki bangunan (fasilitas) yang cukup bagus. Rata-rata sewa kamar adalah sebesar f.2,50, sarapan pagi f.1,-, makan siang f.2,50, dan makan malam f.2,50. Namun bila membayar secara keseluruhan (sewa kamar, sarapan, makan siang dan makan malam) hanya dikenakan biaya sebesar f.6,00.
Pola pembayaran kedua adalah pembayaran per-hari, yang mencakup sewa kamar, sarapan, makan siang dan makan malam. Pola pembayaran ini umumnya diperkanalkan oleh pasanggrahan yang lebih kecil, tingkat hunian yang rendah, serta bangunannya (fasilitas) yang kurang bagus. Besaran biaya yang dikenakan dengan pola ‘pembayaran tunggal’ ini bervariasi antara f.2,00 hingga f.4,00 per hari.
Pada awalnya, sebagian besar pelancong yang menginap di pasanggrahan adalah pelancong asing. Walaupun demikian, seiring dengan semakin banyaknya Urang Awak yang berpesiar, maka banyak pula Urang Awak yang menjadi tamu pasanggrahan. Keberadaan pasanggrahan milik nagari atau milik pasar adalah ‘fasilitas akomodasi’ pelancongan yang ikut mengangkat pamor pelancong Urang Awak tempo doeloe. (***)
=====
Penulis:
Komentar
Posting Komentar