Langsung ke konten utama

Anasir, Perembesan, dan Resepsi: Pembaratan di Bukittinggi Sebelum Era Jepang

Oleh Deddy Arsya
Dosen Universitas Islam Negeri Syekh Djamil Djambek Bukittinggi
Disampaikan dalam Seminar Pelestarian Warisan Budaya dengan Tema:
"Memahami Ulang Urgensi Pelestarian Warisan Budaya di Kota Bukittinggi"
Rabu s/d Kamis, 30 s/d 31 Agustus 2023, Hotel Novotel Bukittinggi

Yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatera Barat


Kota itu, yang awalnya dibuat sebagai benteng, telah menjadi tidak sekadar kota militer. Gedung-gedung pemerintahan berdiri agak ketinggian dan menjadi pusat kota kemudian, bersama kantor dan rumah dinas pejabat tinggi Eropa, berdiri pula pasar dengan los-los dan rumah-rumah toko, kompleks permukiman berdasarkan bangsa (Cina, Keling,[1] Jawa), juga perangkat kota modern lain semisal gedung-gedung sinema [biskop], hotel, rumah sakit, dan penjara, pemakaman, jalan-jalan mulus dan lebar yang membelah kota, jalur-jalur kereta api dengan stasiun-stasiunnya, perumahan-perumahan elite militer berupa deretan-deretan rumah kediaman para opsir dan perwira (selengkapnya: Zulqayyim, 2019). Sekolah-sekolah mulai berdiri di situ sejak awal paruh kedua abad 19 dan semakin semarak setelah zaman bergulir memasuki abad ke-20, di mana kota itu kemudian menjelma menjadi lambang kekuasaan kolonial yang di tengah Sumatra. "Bukittinggi tidak pernah sunyi," kata Bung Hatta.

Bung Hatta lahir di Bukittinggi persis di pangkal awal ke-20 itu. "Aku dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 12 Agustus 1902," kata Hatta dalam memoirnya. Ketika ia lahir, kota itu sedang gemilang-gemilangnya sebagai kota kolonial. Dalam memoirnya, Beliau (1979: 1) menulis:

Bukittinggi sebuah kota kecil di tengah-tengah dataran Agam .... Ngarai dan gunung-gunung serta Bukit Barisan yang kelihatan sekitarnya itu memberikan kepada kota Bukittinggi suatu pemandangan yang indah sekali. Hawanya sejuk, pada malam hari malahan dingin. Berbagai jenis bunga subur tumbuhnya di sana. Orang yang datang bertamasya dari daerah pesisir sering menamai Bukittinggi Kota Kebun Bunga Mawar. Selain indah pemandangannya, kota ini bersih pula. Jalan-jalan raya selalu disapu oleh orang-orang hukuman yang mendapatkan hukuman berat yang didatangkan dari tempat-tempat yang jauh. Ini muslihat pemerintah jajahan untuk menghalangi supaya mereka jangan melarikan diri. Letak rumah-rumah di kota kecil ini tersusun baik. Tiap-tiap rumah tempat tinggal mempunyai pekarangan dan di sebelah muka biasanya ditanami bunga-bunga, pada sebelah belakang tumbuh beberapa pohon buah-buahan.

 

Namun, tidak berapa tahun setelah kelahiran Bung Hatta itu, pemerintah kolonial menerapkan sistem perpajakan langsung untuk seluruh alam Minangkabau.[2] Di pedalaman Minangkabau, kebijakan itu memicu penentangan-penentangan dan berbagai perlawanan di sana-sini. Aturan dari Fort de Kock itu--nama Bukittinggi zaman penjajahan--telah menyulut ketidak puasan di banyak tempat, utamanya di kampung-kampung sekitarnya. Kamang,[3] berjarak sekitar 12 kilometer dari kota, melancarkan pemberontakan paling beringas dan merepotkan sejak Perang Padri usai.[4] Pada 1908 itu, aliansi-aliansi rakyat yang mempersenjatai diri memblokade kampung untuk menutup akses masuk wakil-wakil pemerintah dari Bukittinggi.[5]

Pertumpahan darah meledak, pendekar-pendekar pribumi telah membunuh pejabat-pejabat pemungut pajak, opas-opas polisi, dan pegawai yang berafiliasi pada pemerintah kolonial di pintu kampung. Ketika perlawanan semakin sengit, pemerintah dari Fort de Kock mengirim lebih banyak tentara ke sana untuk menumpasnya. Perlawanan itu pupus dengan cepat, dengan terbunuhnya kepala-kepalanya, dan penangkapan besar-besaran dilakukan kemudian. Mereka yang tertangkap dibariskan dalam ikatan rantai pada kaki dan tangan yang terbelenggu, dijejerkan di gerbong-gerbong kereta api dalam pengangkutannya ke kota.[6]

Rumah panggung keluarga Bung Hatta terletak di pinggir jalan raya besar di pusat kota, yang bersisian dengan rel kereta yang menghubungkan Bukittinggi dengan Payakumbuh di timur. Bung Hatta kecil, kanak-kanak umur 6 tahun dari keluarga saudagar,  melihat barisan gerbong kereta yang mengangkut gerombolan perusuh itu. Beliau mencatat dalam memoirnya dengan ingatan yang terang tentang peristiwa itu, menimbulkan rasa tergidik pada batin seorang anak yang terkucak, yang diakuinya sendiri telah menumbuhkan kebenciannya pada penjajahan. Di antara tahanan itu terdapat keluarganya--orang terdekatnya. Di jembatan di depan rumahnya di pinggir jalan raya kota itu, Bung Hatta berdiri memberikan lambaian tangan kepada Pak Gaek Rais-nya[7] yang ditangkap Belanda dengan tangan dan kaki terantai-terbelenggu. Hatta (1979: 11) menulis dengan suasana yang filmis:

Waktu kereta api yang membawanya lewat di muka rumah kami di seberang jalan raya, kami sekeluarga berdiri di jembatan yang bersejarah. Aku sendiri duduk berjuntai di atasnya. Dari jendela kereta api ia memberikan salam dengan melambaikan-melambaikan tangannya. Lambaian tangannya itu kami balas dengan hati yang penuh pilu, karena kedua tangannya kelihatan dibelenggu.

Pada diri Bung Hatta, dalam memandang kotanya, ada ketakjuban dan kengerian sekaligus. Ketakjuban pada keberhasilan modernitas-kolonial dalam menawarkan kemajuan peradaban, tetapi disisi lain kengerian yang disebabkan oleh upaya-upaya dalam menjaga gerak laju modernitas itu senantiasa lempang. Saya ingin memperlihatkan ambivalensi (keterbelahan) pandangan atas kota kolonial yang diidap generasi-generasi termodernkan Indonesia abad ke-20 melalui teks-teks yang mereka produksi. Teks-teks yang saya maksud bisa saja dokumen-ego seperti memoir Hatta yang kita kutip di atas, tetapi juga pandangan-pandangan di surat kabar, dan karya-karya sastra modern pada era tersebut.


Untuk yang disebutkan belakangan telah memantulkan suasana dari berbagai corak dilema sosial dan kultural. Membicarakannya, seperti kata Yamamoto Haruki (2010: 33), bukan dari segi keberartiannya dalam dunia kesusastraan dalam arti sempit, melainkan dari segi keberartiannya sebagai saksi zaman”. Karya sastra dianggap bahan yang dapat memberi kesaksian tentang "situasi pemikiran pada zaman ketika karya ini ditulis", di samping juga memberi kesaksian tentang situasi rohani, terutama dari pemuda intelektual pada zaman produksinya (2010: 11). Cukup mudah membangun rumah-rumah batu dan jembatan-jembatan besi, tetapi jiwa manusia berubah dengan cara perlahan-lahan,” kata Fukuzawa Yukichi, nasionalis Jepang abad ke-19 tentang modernisasi negerinya. Mungkin akan begitu pulalah dalam memandang modernitas sebuah kota, dalam aspek fisiknya kita bisa menderetkan sekian potret dan rekaman video, membolak-balik laporan-laporan tahun maupun lembaran-lembaran negara, tetapi tentu saja kita perlu untuk lebih banyak tahu tentang seberapa mendalam modernitas itu telah mengena dan berterima pada pikiran dan batin orang-orang yang dilamun gelombangnya?

Anasir

Kata Benedict Anderson (2001: 173), salah satu upaya pemodernan yang  paling giat dilakukan pemerintah kolonial ialah pengenalan konsep waktu yang terukur: waktu baru menggantikan waktu lama. Arloji telah diproduksi sejak akhir abad ke-18. Produksinya di seluruh Eropa tercatat 500.000 per tahun. Pada akhir abad ke-19, sebagian besarnya telah diekspor ke negeri jajahan. Pada awal abad ke-20, penggunaannya telah jadi biasa di kota-kota kolonial. Utamanya, yang berantai emas, menjadi pelekat-wajib dalam kantong-kantong jas pejabat bumiputera. Dokumen-dokumen ego, potret-potret yang dihasilkan dari rumah-rumah foto, roman-roman sezaman telah membuktikan penggunaannya yang luas di kalangan masyarakat kota, utamanya kelas atas terdidik.

Di Fort de Kock, penanda waktu yang paling mencolok tentu saja Jam Gadang. Dibangun di tengah kota, tidak berapa jauh dari pasar utama, di epicentrum keramaian, dan terutama di satu titik yang tinggi (kalau tidak akan mengatakan tertinggi). Ia dihadirkan di situ untuk dilihat dan diperhatikan. Ia diharapkan akan menggantikan cara warga kota memandang waktu: menatap pada langit untuk mengamati garis matahari, dengan menatap pada langit untuk menatap angka dan jarum. Penanda yang serupa, dalam ukuran yang lebih kecil, juga ada pada tingkap kantor-kantor, pada stasiun kereta api dan dinding terminal.

Namun, sejauh mana kesadaran akan waktu yang baru telah diresapi?

Roman telah menjadi corong bagi kampanye akan waktu-modern. Melati van Agam karya Swan Pen membuka paragraf pertamanya dengan narasi tentang waktu-modern itu, waktu dalam angka, dalam hitungan yang pasti.

“Neng, neng, —neng neng, — neng neng”, boenjinja lontjeng distation 6 kali, soeatu tanda boeat memberi tahoe kepada sekalijan pendoedoek jang tinggal berdamping disana, bahwa diitoe waktoe soedah djam poekoel 6 pagi” (Swan Pen, tt: 1).

 

Novel itu, jang benar telah kedjadian”, dikeluarkan Bintang Hindia di Weltevreden, mungkin pada akhir 1920an. Penanda waktu novel itu ialah penanda waktu yang numeric, alih-alih prosa bergaya legenda dan atau kaba -- "Tatkalo maso leh nantun", "Tatkalo maso dahulunyo":

"Hari nan sadang tangah hari, sadang tangah hari papek, sadang bunta bayang-bayang, sadang linduang saliguri, sadang litak-litak ayam, sadang langang urang di kampuang, sadang rami urang di balai" (Rj. Endah, 1965: 1).

 


Tokoh-tokoh roman Melati van Agam ialah representasi komodrenan yang nyaris utuh. Sitti Norma, tokoh utamanya, kembangnja kota Fort de Kock”, perempuan muda yang tinggal diseboeah roemah besar di Heeren-Straat … kebon boenga jang ada disamping roemahnja itoe” (tt: 6). Dia tinggal di pusat kota, tidak jauh dari Hotel Centrum. “Ini Hotel jang indah dan bagoes, ada djadi kembangnja dari sekalijan Hotel-hotel di kota Fort de Kock, meskipoen betoel djoega di itoe kota tidak koerang dengan roemah-roemah dan gedong-gedong jang bagoes, tetapi tidak ada Hotel jang sebagoes dan seindah itoe” (Swan Pen, tt: 6).

Sementara Idrus, tokoh utama lainnya, ialah “seorang anak moeda jang berpakaian tjelana flaner, badjoe open dari linnen, topi vilt, sepatoe pantoffel dengan kaoes soetera; sambil pada tangan kirinja terikat seboeah arlodji tangan dari mas 4 persegi (1920an: 14). Pada keduanya, anasir-anasir kemodernan jelas menampakkan diri. Baik Idrus maupun Norma, mereka tertarik untuk “pergi menonton Opera, Bioscoop dan lain-lainnja apa jang disoekainja (tt: 12). Di sekeliling kehidupan mereka ialah gemerlapan kelihatannja dari djalan api-api lampoe listrik” (tt: 14). Jika kita teruskan menelisik, anasir itu tidak saja pada aspek fisik, perilaku-tingkah laku, tetapi juga pada mentalitasnya: Norma tidak mau bersegera kawin, karena dalam pikirannya, kalau sudah bersuami maka dia “tidak dapat vrij seperti dia sekarang; kalau akan pergi kemana-mana, moesti minta permisi dahoeloe kepada soeami, seolah-olah terikat, seperti boeroeng dalam sangkarnja" (tt: 8).

Roman itu juga berbicara tentang auto[8] yang ‘bersilang sioer’. Sepur yang berhenti dari stasiun ke stasiun. Jalan-jalan dan rel-rel dengan gemerlap lampu listrik. Arloji dari emas yang dipakai pemuda-pemudi. Pasar malam dan pacuan kuda, dengan musik militer yang meriah. Pertandingan voetbal[9] di lapangan Cantine. Panggung tonil; bunyi gitar, viool dengan fluidnya di Strom Park dan James Park,[10] dimana tempat berkumpul muda-mudi pada petang Sabtu atau malam Minggu. Swan Pen menulis:

"Fort de Kock, kota jang paling disoekai oleh Bangsa Barat, dari kerena sedjoek hawanja, penoeh dengan gedong jang besar-besar beserta dengan villa-villanja jang tinggi, bagoes, dan molek-molek” (Swan Pen, tt: 29).

 

Swan Pen ialah nama pena dari Parada Harahap. Jurnalisten termasyur pada masa itu. Dia pernah mengunjungi Fort de Kock beberapa kali. Dia menuliskan pengalamannya itu, di antaranya, dalam Dari Pantai Kepantai: Perdjalanan ke Soematra (1927). Mungkin lanskap dari latar cerita romannya berasal dari pengalaman beberapa kunjungannya tersebut. Ada banyak anasir kemodernan lain pada kota itu yang disebut Parada sebagaimana juga dalam novelnya di atas itu. Mesinisasi transportasi diantaranya. Parada menulis tentang sepur[11] dengan jadwal rutin ke berbagai kota lain terparkir di stasiun kota. Auto yang silang-menyilang di jalan-jalan kota yang mulus, menuju ke negeri dan kota lain. Trayek Bukittinggi ke Tapanuli, sebutnya,termasuk perhubungan jalan yang baik di Sumatra, tidak saja kualitas jalan, tetapi juga moda transportasinya, “… auto-auto jang berpoeloeh-poeloeh itoe dari Fort de Kock ke Tapanoeli” (1927: 77-8). Padahal, Hatta (1979: 5) menyebut, pada 1910an belum ada mobil di kota itu. Hanya ada sepur, bendi (delman) dan pedati. Tetapi tentu saja kondisi itu telah berubah dengan cepat pada dekade berikutnya ketika Parada mengunjungi kota itu. Lihatlah masifnya iklan-iklan mobil, misalnya, di Sinar Soematra dan Soematra-Courant pada dekade-dekade itu.

Yang juga cukup memperoleh perhatian Parada ialah Fort de Kock sebagai tujuan pakansi[12]. Pejabat dari Padang menghabiskan naik kereta api 5 jam[13] untuk menghabiskan akhir pekan, menginap di hotel-hotel yang terawat baik, mengunjungi destinasi-destinasi rekreasi yang masuk dalam buklet pariwisata kolonial. Ada banyak yang lain: kolam renang, lapangan tenis, meja bilyar, lapangan sepak bola yang juga digunakan untuk parade militer lengkap dengan musik militer, dansa-dansi di gedung societeit. Gedung-gedung bergaya imperial dan art deco; rumah-rumah tinggal tanpa halaman berlantai dua yang panjang ke belakang sebagaimana di negeri induk (nederlandhuizen) digantikan rumah-rumah berhalaman luas bergaya Hindia (landhuizen) dengan taman-taman air   mancur   dan   jongos-jongos   yang   siap kapan pun sang tuan dan nyonya memanggilnya.[14]

Roman lain, Sengsara Membawa Nikmat, diterbitkan Balai Pustaka pertama kali pada 1928, juga menampilkan anasir-anasir modernitas di sana-sini. Penulisnya, Tulis St. Sati, menghabiskan masa kecil dan remajanya di kota itu. Latar novelnya itu yang mula-mula ialah "sebuah kampung yang terletak pada sebuah lembah, tidak jauh dari Bukittinggi". Pemudanya, digambarkan St. Sati, "bercelana batik,[15] berbaju Cina yang berkerawang pada saku dan punggungnya. Kopiahnya sutera selalu, berterompah dan bersarung kain Bugis." Di kampung itu, orang main sepak raga[16] dan belajar silat, berkumpul di kedai kopi, atau mengikuti helat cara tradisi, berkasidah di tepi-tepi surau, bersenandung dalam lagu-lagu Melayu.[17] Sekeliling sawah. Ketika panen, orang berandai dan berpencak, menari piring dan bersalung. Belajar agama dan tata krama menjadi keharusan dan guru agama dan penghulu memperoleh tempat terhormat.

Yang terakhir ini terhubung kepada kekuasaan kolonial di kota. Tuanku Laras pulang-balik ke Bukittinggi untuk berapat dengan pejabat-pejabat Belanda, tuan-patronnya. Di kampung, dia bertahta di kantor, dengan kursi dan meja, dengan kakus, dengan halaman berumput yang luas, dengan bilik dan ruangan. Wilayah 'antara', di antara kota dan kampung, di situlah kira-kira kantor (kuasa) Tuanku Laras bersemayam.


Bukittinggi sebagai kota, dalam roman itu, ialah negasi dari kampung. Kampung, diceritakan St. Sati, lebih sering sunyi-senyap ketika siang. Gelap-gulita ketika malam. Sedang negasinya, Bukittinggi, ada pacuan kuda dan pasar malam. "Ah, alangkah ramainya keramaian di kota sekali ini, Maun," kata Midun, seperti diceritakan St. Sati. Bukittinggi direpresentasikan dengan Pasar Malam dan Pacuan Kuda, yang meriah, ramai, penuh warna, dan juga ligat-bergegas. Bangunan-bangunan kokoh, teratur dan rapi, gaba-gaba [Jawa; gapura, gerbang][18] penuh hiasan dan bunga, juga cahaya terang dari bohlam yang dialiri listrik, dan bendera tiga warna yang berkibar-kibar di mana-mana. Tokoh-tokoh St. Sati terheran-heran, terpana-pana di depan semua itu. Tetapi di sisi lain, kota itu menyiapkan ancaman, tipu-daya, pembalasan dendam, kengerian: opas-polisi, belenggu besi, penjara-tansi ... pisau yang terhunus. Kantor-kantor pemerintahan, gedung-gedung besar dan tinggi, di situ begitu menarik hati, tetapi juga menakutkan: Sebetulnya awak mesti diproses perbal dan dibawa ke Bukittinggi (ke kantor Tuan Assistent Resident Fort de Kock),” kata Tuanku Laras kepada Midun. Keluarga Midun menjadi cemas sekaligus takut. Ketika proses verbal tidak jadi dilakukan, mereka bersyukur. Representasi Barat-kolonial, dengan begitu, ialah representasi yang ingin direngkuh tetapi sekaligus ingin dihindari.

Justus van Maurik, dalam Indrukken van een ‘Tòtòk’ (1897), lebih banyak mengarahkan pandangannya ke pinggiran kota. Dia berjalan kaki tiga jam ke arah Sianok, dan mendapati lembah yang indah. Perasaannya tentang keelokan alam, keramahan pribumi, kekagumannya pada pakaian Melayu yang elok dan anggun, dan penerimaan mereka kepada anasir Eropa. Di sela-sela itu, tentu saja, kebanggaan kepada kebelandaannya, pada pencapaian Eropa di negeri jajahan yang jauh. Dia menceritakan tentang kebiasaan orang-orang Belanda di kota itu memelihara anjing yang menjadi tren, salah seekornya menaiki mimbarnya ketika dia sedang berbicara dalam sebuah pertemuan, dan menguraikan kebiasaan yang sama pada orang-orang pribumi Minangkabau di kampung-kampung sekitarnya. Dia terlalu banyak berbicara tentang varian-varian anjing sampai berhalaman-halaman (1897: 58-62). Dia mengabaikan banyak hal berharga lain dari kota itu yang harus dilaporkannya kepada kita. Tapi setidak-tidaknya kita mendapat gambaran juga tentang suasana kota itu pada titik-titik penting dari pemukiman Eropa.

Dia menceritakan tentang hotel tempat dia menginap, dengan mandi uap panas, dan pelayan yang ramah. Dia menceritakan tentang ruang pertemuan di Gedung Societeit,[19] tempat di mana dia dijamu dengan cara Eropa oleh rekan-rekan Belandanya, diminta untuk membacakan karyanya di situ. Dia mempermasalahkan jas abu-abunya yang tidak cocok untuk pertemuan semacam itu. Dia berharap tampil dengan pantas, dengan jas hitam dan celana panjang yang bagus, dengan pena besi yang elegan melekat di saku. Di  gedung pertemuan itu disebutnya juga terdapat ruang konser dan ruang baca. Dia menggambarkan suasana “di stasiun kecil yang rapi di mana “lintas sibuk orang Melayu, Klingelesen, Cina, dan Eropa berbaur”. Dia menggambarkan tentang pasar dengan hidup (1897: 51-2), sbb.:

“Di passar [Fort de Kock] yang penuh panas dan terik matahari, penuh pajoong (penutup matahari) warna-warni dan tenda-tenda kecil, sangat ramai dan padat. Saya melihat segala macam kostum khas Sumatra ditampilkan, termasuk para wanita berpenampilan indah dari Pajacombo, mengenakan sarung emas dan perak, yang mengenakan hiasan kepala yang agak meniru tanduk carbouw. Orang Sumatra yang kaya suka berpakaian penuh warna dan indah, bahkan mahal dan mewah, dan apa yang ia kenakan cocok untuknya karena ia bertindak dengan  kebanggaan tertentu.”

Fort de Kock, katanya lagi (1897: 57), adalah rumah pemulihan yang unggul. Para tentara yang baru pulang dari perang Aceh diistirahatkan di sana, juga para penderita beri-beri menjalani masa penyehatan yang menyenangkan di kota itu. Udara pegunungan bersih yang berharga di sana adalah obat terbaik untuk segala jenis penyakit saraf dan penyakit lainnya. Iklim kota itu sangat sejuk sehingga bunga dan tanaman Eropa, mawar, geranium, fuchsia, dan verbena tumbuh subur di sana.


Perembesan

Pengaruh Eropa itu, pada mulanya, berkisar di sekitar benteng kuno mereka di puncak bukit. Tetapi, ketika episentrumnya dipindah lebih agak ke selatan yang lebih datar, tempat di mana kantor-kantor pemerintah dan rumah-rumah dinas dibangun, kompleks permukiman kulit putih dan barak militer, dengan segala perangkat-Eropa yang menyertainya semisal gedung societeit, gereja, lapangan olahraga, sekolah dan lain sebagainya. Disitulah kemodernan itu berasal, dari:

  1. praktik-praktik sehari-hari para perwira militer, 
  2. opsir-opsir menengah, 
  3. pejabat-pejabat sipil bangsa Belanda, 
  4. profesional-profesional terspesialisasi semisal; para ilmuwan dan insinyur, hakim dan guru. Di situlah lapis pertamanya.

Rembesannya  yang  mula-mula  tentu  saja  ialah  kepada kelompok-kelompok non-Eropa yang terafiliasi kepada yang pertama itu: keturunan mereka yang didatangkan sebagai prajurit-prajurit tempur yang kemudian memilih menetap (pasukan Jawa yang dibawa Sentot) yang kebanyakan bekerja di kota itu pada pekerjaan teknik (Ning, 1986: 18), atau komunitas-komunitas pedagang yang terhisap ke dalam arus tanam paksa kopi dan bertumbuhnya pasar (Cina, Keling). Komunitas Cina tersegregasi demikian ketat, terhubung begitu erat kepada tuan-patronnya, sehingga jika tidak bertahan sebagai dirinya minimal mereka lebih menyerupai Eropa. Keling, karena kesamaan agama, lebih cenderung kepada bumiputera. "Dalam perasaannya mereka sudah menjadi orang Minang," kata Hatta (1979: 2). Inilah lapis  kedua.  Di  lapis  yang  sama  itu  pula  terdapat    bumiputra, orang-orang Minangkabau, dari kelompok yang diam di dalam kota, "terdiri  daripada:

  1. pegawai negeri, 
  2. saudagar dan 
  3. tukang berbagai rupa" (Hatta, 1979: 4). 

Keluarga Bung Hatta, Pak Gaek-nya yang saudagar, adalah termasuk ke  dalam golongan ini. Ilyas Bagindo Marah, dari gelarnya, mungkin datang dari pesisir pantai. Ada cukup banyak keluarga lain bertoko di sekitar pasar, membangun rumah toko yang bertingkat dua di mana lantai atas menjadi tempat tinggal empunya, atau memiliki rumah-rumah sewaan, yang sebagian besarnya berasal dari Agam Tua. Dalam lapis ini juga, termasuklah mereka  yang  tidak tinggal di dalam kota, tetapi bolak-balik, keluar-masuk kota, menjual barang-barang kerajinan dan keperluan rumah tangga, berlindung dari panas matahari dengan payung-payung besar, atau mengisi bangsal-bangsal yang dibangun kemudian, yang datang pagi-pagi sekali dan pulang ke kampungnya pada petang hari, yang kebanyakan berasal dari kampung-kampung sekitar kota.

Di lapis ketiga, modenitas-kolonial itu merembesi kampung-kampung itulah, dusun-dusun Minangkabau, memakai kalimat Bung Hatta, "yang terpisah dari kota oleh beberapa puluh piring sawah saja". Mula-mula basis kebudayaan mereka pada pertanian, bersawah dan berladang. Rumah dan harta dimiliki bersama. Bapak dan anak tidak tinggal serumah, melainkan terpisah dalam keluarga masing-masing menurut sistem keturunan ibu, matriarkat. Sistem adat mengatur seluruh aspek hidup dari yang paling publik hingga  yang  paling privat. Sejak lahir hingga dewasa lantas mati orang-orang diawasi oleh mata awas tradisi. Tetapi, arus kota kemudian mulai menarik mereka, kaum laki-lakinya, kata Hadjerat (1947: 11), untuk perlahan-lahan mulanya meninggalkan sawah dan ladang di kampungnya, lantas diantaranya memilih "menjadi tukang batu, tukang kaju dan mendjadi kuli" ke Bukittinggi. Sementara perempuannya, ke kota untuk "berdjual kayu api, pisang, daun pisang, koewe2 dan berkuli ditoko Tjina atau mendjadi babu".

Yang menarik kemudian ialah dari proses serupa itu bagaimana lalu-lintas manusia yang melintasi batas kampung dan kota itu sekaligus juga membawa dan mengikutkan anasir-anasir modernitas-kolonial? Bagaimana perembesan dari lapis pertama, ke lapis kedua, lalu ke lapis ketiga? Mungkinkah dia berjalan secara sebelah pihak, atau dari kedua sisi, melalui semacam transaksi? Bagaimana pulakah proses dan bentuknya. Kasus yang menarik, misalnya, minat pada Sekolah Raja.

Taufik Abdullah (1983: 21):

Mereka berpakaian bagus menurut mode Eropa. Pada jam istirahat, dengan bangga pelajar-pelajar Sekolah Raja itu menjalani jalan-jalan kota Bukittinggi. Masyarakat  mengenal mereka dengan baik. Seorang Alumni Sekolah Raja yang bernama Rasyid Manggis menceritakan bahwa ketika ia dibawa oleh orang tuanya ke Pasar Bukittinggi sangat kagum melihat pelajar-pelajar Sekolah Raja itu. Sehingga saat itu menjadi idamannya untuk menjadi pelajar Sekolah Raja.


Seseorang dari lapis 3, memasuki lapis 2 atau 1, dan berusaha untuk menjadi seperti yang dimasukinya. Kasus Rasyid ialah narasi tentang kesadaran penuh untuk merengkuh. Saya pikir, ada banyak kasus yang sama, di mana kemodernan diraih secara sadar sebagai tangga menuju kemajuan diri dan puak. Pada abad ke-19, prosesnya pelan-merangkak, seperti yang telah disinggung di atas. Tetapi, memasuki abad ke-20, terutama setelah dua dasawarsa awal, semangat itu akan menjadi kecenderungan di kalangan bumiputera tertentu.

Namun, yang justru mengherankan adalah, tidak ada proses timbal-balik. Kasus Bung Hatta (1979: 12), misalnya, menarik untuk dicermati, bahwa dia sering dibawa kenalan dan sahabat kakeknya ke kampung mereka yang "terpisah dari kota hanya beberapa puluh piring sawah saja". Artinya, seorang dari lapis 2, mendatangi lapis 3, tetapi tidak punya minat sama sekali untuk menjadi lapis yang didatanginya. Bung Hatta mengulang-ulang kebingungannya atas lapis 3, "lain duduknya", "ganjil rasanya", "teka-teki bagiku". Kata Hatta, "Aku belum mengerti seluk-beluknya" yang "berlainan dari yang terlihat di dalam kota". Beliau mengatakan dia (keluarganya) berbeda, "Struktur keluarga kami mengikuti garis patriarkal", hidup dalam keluarga kecil alih-alih kaum-komunal, cenderung individuil alih-alih kolektif. Mungkin menjadi jelas bahwa proses pribumisasi (menjadi tertradisikan) nyaris tidak pernah terjadi, bahkan di tataran lapis 2, apatah lagi lapis 1.


Resepsi

Penolakan atas sistem pajak yang diterapkan Fort de Kock [Sumatera Westkust] pada 1908 satu  di antaranya. Lalu, penolakan Bung Hatta-kecil dalam batin kanak-kanaknya atas sikap keras pemerintah kolonial untuk menghancurkan pemberontakan itu. Penolakan yang paling nyata terlihat atas modernitas-kolonial datang dari masyarakat lapis ketiga dari kota itu. Dua tahun sebelumnya, pada 1906 sembilan penghulu Kurai dijebloskan ke penjara, mereka dituduh sebagai, dalam bahasa Westenenk, "tukang pengatjau negeri ... penghasut, tukang pembuat rekes2". Mereka melayangkan surat protes ke Asisten Residen Padang Darat: pemerintah kota, kata mereka, "menghilangkan hak dan milik kami, melanggar adat dan pusako kami" (Hadjerat, 1947: 45). Pada 1915, Asisten Residen menulis tentang tabiat penolakan Kurai atas modernitas yang dibawa pemerintah jajahan sebagai "diam dilaut masin tidak, diam dibandar tak meniru". Di atas tanah merekalah sekolah-sekolah (sekuler) didirikan, tetapi "djaranglah mereka itu jang suka menjerahkan anak kemenakannja menuntut peladjaran kesekolah itu" (Hadjerat, 1947: 9).

Pada masa itu, Bung Hatta dalam memoirnya membenarkan, kesadaran masyarakat bumiputra untuk bersekolah di sekolah umum belum tumbuh dan berkembang.[20] Bersekolah di sekolah umum dianggap tidak begitu penting bagi kehidupan mereka. Penghargaan orang-orang amat rendah kepada sekolah pemerintah. Jika belajar di sekolah formal atau sekolah umum, berarti sama dengan membantu kepentingan Belanda.[21] Bung Hatta melihat banyak kawan-kawan seusianya tidak sekolah. Mereka hanya pergi belajar mengaji ketika malam hari di surau, sedangkan siang hari digunakan untuk bermain-main dan membantu orang tua bekerja di sawah, menggembalakan ternak atau berdagang. Hatta (1979: 23) menceritakan dalam memoirnya:


Kebanyakan dari kawan-kawanku yang sama mengaji di surau tidak bersekolah. Siang hari mereka bermain-main saja atau menolong orang tuanya yang bekerja di sawah, menggembalakan kerbau atau berjualan. Kalau kutanyakan kepada mereka apakah mereka tidak ingin bersekolah, aku selalu mendapatkan jawaban yang serupa “buat apa itu” kata mereka, "sekolah itu kan bikinan Belanda untuk menjinakkan kita,[22] lebih baik dijauhi saja. Asal kita rajin-rajin mengaji, kita tidak akan kalah dalam pengetahuan dengan orang-orang yang tamat sekolah rakyat itu".

 

Perasaan anti-sekolah [anti sekolah sekuler] itu pada 1920an telah banyak sekali berubah seperti yang telah disebut juga di atas. Jumlah penduduk kota itu bertambah dua kali lipat, dari 2500 pada masa Hatta kecil (1910an), menjadi 5004 pada 1920, menanjak semakin tinggi menjadi 14.650 pada 1930 (tabel lengkap lihat Zulqayyim, 2006: 29). Bukan saja karena terbukanya peluang akan pekerjaan yang lebih beragam, semakin meluasnya wilayah kotapraja,3 dibukanya kran yang lebih luas bagai pembelian dan penyewaan tanah (2006: 30-31). Namun, tampaknya, diterimanya modernitas-kolonial yang meluas mungkin saja juga telah mendorong pertumbuhan pesat ini. Orang-orang mulai berlomba-lomba mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah sekular yang kini dianggap sebagai tangga utama menuju kemajuan.[23] Beberapa dokumen ego menyamini hal tersebut (ex: Maisir Thaib [1978], Hasyim Ning [1986], Bahder Johan [1980]). Kaum terdidik baru hasil sekolah-sekolah sekuler itu menjadi agen pemodernan,[24] utamanya berasal dari lapis ketiga yang dulu begitu susah dimasuki, dan mengkampanyekan modernitas pada lapis mereka pula. Mereka mendirikan organisasi atau perkumpulan, juga surat-surat kabar, dan pada masa kemudian menikung ke arah yang agak lain: kesadaran kebangsaan.

Respon-respon atas modernitas-kolonial tampak beragam. Selain penolakan yang keras pada satu sisi yang paling ekstrim sebagaimana telah disebut di atas itu, upaya peniruan (mimikri) ialah yang juga mengejala. Orang-orang tertentu yang paling dekat dan paling terhubung dengan orang-orang Eropa ingin seperti 'rekan' Eropanya atau 'tuan' Eropanya ialah pelakunya yang utama dan mula-mula.[25] Mereka meniru rumah-rumah bergaya landhuizen dengan menyebutnya rumah gaduang alih-alih rumah gadang; mengisi rumah baru mereka itu dengan berbagai perabotan alih-alih membiarkannya lepas-lapang. Mereka berpantalon dan tuksedo, bersepatu dan kaos kaki dan lain sebagainya. Mereka terpana-pada pada kereta api dan bercita-cita menjadi masinis. Mereka bermimpi akan dapat bermobil ke mana-mana daripada berjalan kaki atau naik bendi. Namun, tampaknya, upaya itu lebih sering berakhir sebagai ambivalensi yang menggelikan sekaligus merisaukan. Ingin menjadi terbaratkan tapi tak pernah bisa menanggalkan ketimuran. Di tengah kondisi yang demikian, setengah yang lain melakukan upaya yang lebih kompromistis, mencangkokkan kebaratan ke dalam ketimuran. Hasilnya mungkin juga terlihat komikal, atau membadut, tetapi kita dapat menilainya sebuah upaya bertransaksi: tas dan kemeja dikombinasikan dengan bawahan celana-batiak + sarung, pantalon dengan teluk belanga, atau tuksedo lengkap dengan dasi kupu-kupu tapi berkaki ayam; imperial style dengan rome pillar + gonjong ala rumah gadang + ukiran mahkota Wilhelmina + itiak pulang patang. Pada tataran fisiknya, demikian, tetapi kita mungkin perlu menyelaminya ke struktur yang lebih dalam, pada sikap hidup, pada pikiran dan mentalitas. Seberapa jauh hal itu telah terjadi?

Pandai Sikek, 2023



1 Disampaikan dalam Seminar Pelestarian Warisan Budaya di Kota Bukittinggi, bertempat di Novotel - Bukittinggi, pada 30-31 Agustus 2023.

2 Mengajar dan mengarang. Menulis beberapa buku sejarah di antaranya: Mendisiplinkan Kawula Jajahan: Politik Penjara Hindia Belanda (2017), Celana Pendek dan Cerita Pendek: Kumpulan Esai Sejarah & Sastra (2019), Merengkuh Djaman Kemadjoean: Dinamika Modernitas Kota Kecil (2022), dan yang akan segera terbit berjudul Wabah Rempah Sejarah: Sejumlah Catatan.

3 Pada 1930, Permusyawaratan Orang Kurai Oentoek Keselamatan (P.O.K.O.K) menggalang protes kepada pemerintah kota atas ini. Sutan Batoeah dan M. Zen Djambek mengepalai rapat akbar untuk ketidaksetujuan pencaplokan wilayah-wilayah Kurai yang dimasukkan ke dalam kotapraja (gemeente). Pemerintah Fort de Kock membubarkan aksi mereka dengan kekerasan, di mana para polisi memaksa mengakhiri rapat dengan memukuli para pesertanya (Hadjerat, 1947: 61-2).

====================

Kata dalam tanda [] ditambahkan admin

Catatana kaki oleh Admin:

[1] Keling atau Orang Keling (Urang Kaliang) merupakan penamaan untuk etnis India bagi orang Minangkabau dan negeri Melayu lainnya. Merujuk kepada sebuah kerajaan yang terdapat di bagian selatan India. Tentang Kalingga, silahkan klik DISINI

[2] Pada tahun 1908 mulai diberlakukan kebijakana Belasting (Pajak) di Minangkabau. Kebijakan ini ditentang oleh seluruh orang Minangkabau karena merupakan bentuk pelanggaran Belanda terhadap perjanjian Plakat Panjang yang mereka buat sendiri. Dimana salah satu isinya ialah: Kelima, Kompeni tidak meminta akan mereka itu barang apa-apa cukai uang, melainkan kompeni hendak menyuruh mereka itu bertanam kopi banyak atau lada hitam akan kebajikan kepada mereka itu. Selengkapnya tentang isi Plakat Panjang, silahkan klik DISINI

[3] Kamang, sekarang berada di Kecamatan Kamang Magek, Kabupaten Agam. Menganut Kelarasan Koto Piliang. Pada masa Belanda, terdapat Kelarasan Kamang yang Kepala Larasnya berkantor di Jorong Pintu Koto. Pada masa Perang Kamang, Kepala Laras dijabat oleh Garang Dt. Palindih dari Suku Sikumbang. Dan selepas Perang Kamang - dimana Garang Dt. Palindih telah dipecat - Syekh Djamil Djambek membuka surau kedua beliau di nagari ini atas permintaan mantan Laras Kamang. Tentang Kamang, silahkan klik DISINI, tentang Surau Nyiak Djambek di Kamang, silahkan klik DISINI

[4] Tentang Perang Kamang, silahkan klik DISINI

[5] Pada tahun 1908, tidak hanya di Kamang dan Manggopoh sahaja yang bergejolak dalam menentang Kebijakan Pajak (Belasting), melainkan sealam Minangkabau. Namun pada kebanyakan nagari tidak terjadi pemberontakan karena tidak adanya kesefahaman antara pemimpin mereka dalam menyikapi kebijakan tersebut. Buya Hamka mengambarkan keadaan masa itu bahwa di Kamang dan Manggopoh terjadi pemberontakan karena Niniak Mamak dan Ulama sefaham untuk melakukan perang. Sedangkan di nagari lain, ada yang niniak mamak yang setuju untuk berperang namun ulama tidak, demikian pula sebaliknya.

[6] Dalam Memoirnya, Bung Hatta menceritakan bahwa di depan rumah mereka dibuat pos penjagaan oleh polisi. Dimana setiap orang yang hendak lalu mesti diperiksa, kebanyakan dari mereka dibentak oleh polisi. Mak Idris (mamak beliau) menceritakan bahwa pada suatu malam ia cemas bukan kepalang tatkala mendengar bentakan dan teriakan dari opas polisi tersebut, takut kalau-kalau peluru bedil mereka meletsu mengenai dirinya yang sedang tidur di bilik muka. Mamak beliau juga menjawab tatkala ditanya oleh Bung Hatta perihal Perang Kamang "Orang Belanda tak dapat dipercaya, mereka mengkhianati perjanjian"

[7] Dalam memoirnya Bung Hatta menceritakan kalau Pak Gaek Rais merupakan orang yang kritis dan pernah menulis beberapa tulisan di surat kabar terkait kelakuan salah seorang pejabat kolonial. Perang Kamang digunakan oleh pejabat tersebut sebagai balas dendam untuk menangkap dan memenjarakan Pak Gaek Rais.

[8] Di Sumatera Barat, mobil disebut dengan 'oto' berasal dari kata 'auto' yang telah digunakan semenjak masa kolonial.

[9] Sepak bola

[10] Strom Park atau Stram Park merupakan nama kebun bunga di Bukit Tinggi yang kemudian berubah menjadi Kebun Binatang. James Park, belum berhasil kami identifikasi.

[11] Kata sepur biasanya diartikan sebagai kereta api, tetapi arti sejatinya berbeda. Kata ini berasal dari kosakata Belanda spoor yang berarti jalur dengan dua rel yang harus dilintasi kendaraan rel. Kata ini sebenarnya lebih mengacu pada infrastruktur rel daripada lokomotif dan gerbong.

[12] dari bahasa Belanda vacantie; libur, cuti

[13] dari sini kita tahu kalau jarak Bukit Tinggi - Padang dengan menggunakan kereta uap masa itu ialah 5 jam. Sekarang dapat ditempuh dengan waktu 2,5 s/d 3 jam

[14] Jongos = pelayan, Babu = pembantu, asisten

[15] Celana dengan motif Batik Tanah Liat yang merupakan khas Minang.

[16] Sepak Raga atau Sipak Rago. Merupakan salah satu permainan anak nagari di Minangkabau. Bola yang digunakan terbuat dari rotan, mirip dengan bola takraw sekarang namun pada beberapa kampung bola tersebut memiliki ukuran dua kali lebih besar. Dimainkan bersama-sama dengan cara sekelompok pemuda berdiri berkeliling membentuk lingkaran. Bola disepak dengan aturan tidak boleh bola sampai menyentuh tanah, dioper ke rekan-rekannya yang berdiri melingkar tersebut. Barang siapa yang tidak dapat menerima atau menyambut operan bola atau dalam memainkan bola, bola tersebut lepas dan menyentuh tanah maka ia akan menjadi bahan tertawaan. hal inilah yang memicu permusuhan antara Engku Muda Kacak dengan Midun dalam roman tersebut.

[17] Dalam arsip-arsip kolonia, mereka menyebut orang Minangkabau dengan sebutan Orang Melayu. dalam kearifan lokal orang Minangkabau sendiri, mereka memang meidentifikasi diri mereka dengan sebutan Orang Melayu atau Bangsa Melayu. Namun pada waktu kemudian terjadi penyempitan makna terhadap Melayu, baik itu di Minangkabau maupun di Indonesia. Sehingga banyak orang Minangkabau tidak mau atau tidak merasa orang Melayu lagi dan menyamakan Melayu sebagai sebuah etnis, bukan bangsa.

[18] Gaba gaba berarti gerbang atau gapura. Merupakan bahasa asli orang Minangkabau yang telah hilang dan tak lagi digunakan pada masa sekarang. Pada bercakapan lisan ataupun dokumen kerap digunakan kata 'gapura' yang merupakan kata dari bahasa Jawa yang juga serapan dari bahasa Sansekerta yang menjadi bahasa suci bagi orang jawa Kejawen. Karena mentalitas yang rendah, pada masa sekarang orang daerah banyak melakukan adopsi besar-besaran terhadap gaya hidup dan juga berbahasa orang-orang di Pulau Seberang.

[19] Terletak di Kantor DPRD Kota Bukittinggi sekarang, dimasa perang kemerdekaan ditukar namanya menjadi Gedung Nasional. Selengkapnya tentang Societeit di Bukit Tinggi silahkan klik DISINI

[20] Bukannya belum tumbuh melainkan orang Melayu di Minangkabau masih dalam tahap mempelajari dan menelaah apakah pengaruh baru yang dibawa oleh penjajah itu sesuai atau tidak dengan adat dan agama yang mereka anut. Terbukti pada masa belakangan, orang Minangkabau menerima pengaruh ini dengan mendirikan sekolah partikelir di setiap kampung mereka yang dikenal orang dengan nama Sekolah Melayu. Pada sekolah ini diajarkanlah agama yang tidak diajarkan oleh sekolah sekuler bikinan Belanda. Dan hal ini membuat Belanda geram dan dengan dalih memeriksa kualitas pendidikan mereka mengirip inspektur pendidikan untuk memeriksa kualitas pendidikan di Sumatera Westkust. Hasil penyidikan ialah kualitas pendidikan di sekolah Melayu buruk dan mesti dievaluasi. Tentu sahaja dalam sudut pandang mereka, karena merasa terancam dengan keberadaan sekolah melayu ini.

[21] Orang yang bekerja dengan penjajah dipandang rendah dan dianggap sebagai Pengkhianat oleh orang Melayu

[22] hal ini terbukti bahwa pendidikan merupakan alat cuci otak yang efektif. Dengan menghilangkan mata pelajaran agama dan sejarah, misalnya atau sekadar mengurangi maka proses propaganda penjajah dengan ideologi sekuler kapitalisnya dalam menjinakkan dan menundukkan pribumi berjalan mulus. Dapat kita lihat para tamatan kampus-kampus luar negeri yang belajar agamanya ke universitas yang didirikan para orientalis di negeri mereka.

[23] Tidak dapat dipukul rata (generalisir) karena yang dapat masuk kep sekolah sekuler milik kolonial itu hanyalah anak-anak bangsawan, orang pengaruh, atau dekat dengan pemerintah kolonial.

[24] Sebagian besar menjadi agen sekulerisasi dan memandang Islam sebagai perlambang dari kemunduran. Beberapa lagi menjadi orang yang tergila-gila pada peradaban barat dan merendahkan adat nenek moyang. Seperti yang digambarkan dalam roman Salah Asuhan. Mereka terjangkit penyakit Xenocentrims.

[25] Serapan berbagai elemen budaya barat kemudian marak seperti penggunaan jas yang dipadukan dengan kain sarung dan kopiah, menghindari memakai kopiah yang merupakan salah satu produk budaya lokal, menggunakan kata serapan Belanda dalam percakapan sehari-hari, 

Komentar

Acap Dilihat

39. Los Saudagar

Los Saudagar atau Lorong Saudagar atau masyarakat Bukittinggi dan Agam juga mengenalnya dengan nama Balakang Pasa ialah komplek bangunan ruko peninggalan kolonial yang masih bertahan di Bukittinggi. Pada gempa tahun 2006, sebagian besar dari bangunan ruko disini hancur dan hanya menyisakan puing-puing. Kini hanya sebagian kecil dari bangunan yang masih bertahan. Komplek bangunan ini telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 dengan Nomor  Nomor PM.05/PW.007/MKP2010 . ====================== Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan `belakang pasar` yang dibangun pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang¬barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blo

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Lomba Vlog untuk Umum

  Halo, Sahabat Nusa! Kamu suka videografi? Sering membuat konten video vlogging atau semacamnya di media sosial kamu? Pas sekali, agaknya! Kali ini Nusa akan mewadahi bakatmu dalam sebuah lomba vlog :) Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat dalam merevitalisasi potensi Jalur Rempah serta meningkatkan pemahaman dan pemaknaan Jalur Rempah, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan kegiatan lomba Vlog di kompetisi Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia!

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

20. Sekolah MULO (SMP N 3&4 Bukittinggi)

Ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Bukittinggi berdasarkan  SK Walikota No. 188.45-335-2021 Tanggal 30 Desember 2021 Bangunan SMP 3 dan 4 atau dahulu merupakan SMP 2 berada di Jalan Panorama, Kelurahan Kayu Kubu, Kecamatan Guguak Panjang . Berdasarkan keterangan yang didapat dari kepala sekolah, bangunan sekolah ini merupakan Sekolah MULO (sekolah menengah) pada masa Kolonial Belanda. Hingga tahun 1945 bangunan ini masih difungsikan sebagai sekolah menengah oleh pemerintah Indonesia. Setelah sekolah menengah di tiadakan kemudian pada tahun berikutnya beralih fungsi sebagai tempat percetakan "Oeang Republik Indonesia (ORI)".