Langsung ke konten utama

Nama Jalan di Bukittinggi Masa Kolonial

Sejarah Bukittinggi (4): Nama Jalan Tempo Dulu di Kota Bukittinggi; Residentweg Fort de Kock, Zuidersingels dan Oostersingels


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bukittinggi dalam blog Pustaha Depok, silahkan Klik Disini

Pustaha Depok - Apa nama-nama jalan tempo dulu di Bukittinggi? Pertanyaan ini mungkin sepele dan tidak terlalu penting. Jika semua orang menganggap demikian, maka pertanyaan tersebut menjadi penting dalam artikel ini. Sebab (nama) jalan adalah penanda navigasi ketika siapapun yang berkunjung ke Bukittinggi. Kota Bukittinggi yang tempo doeloe disebut Fort de Kock, sebagai kota wisata, maka pertanyaan tersebut menjadi penting untuk diketahui.

Residentweg te Fort de Kock (Zuid en Ooster)
Bukittinggi tidak hanya Kota Wisata, juga kota bersejarah. Dalam hal ini, sejarah Bukittinggi menjadi elemen penting sebagai Kota Wisata. Sudah jelas bahwa sejarah awal Kota Bukittinggi adalah benteng Fort de Kock. Jalan dari dan ke benteng ini tiga arah: Dari selatan (dari Padang) melalui jalan Sudirman yang sekarang, terus ke jalan Istana dan jalan Yos Sudarso; dari barat (dari Tiku/Loeboekbasoen/Maninjau) melalui jalan Bintang yang sekarang dan jalan Tuanku Nan Renceh (bertemu jalan Yos Sudarso); ke timur (dari jalan Sudirman) melalui jalan Perintis Kemerdekaan dan jalan Soekarno-Hatta terus ke Payakumbuh. Pada era Belanda, jalan dari/ke barat ini (Tiku) disebut Zuidersingels (lingkar selatan) dan jalan dari dan/ke timur ini (Payakumnuh) disebut Oostersingels (lingkar timur). Antara dua jalan lingkar inilah kemudian berkembang jaringan jalan di kota. Jalan yang pertama diberi nama adalah jalan Residentweg (jalan Istana yang sekarang). Jalan lingkar selatan diberi nama sesuai aslinya Zuidersingels Straat dan jalan lingkar timur sebagai Oostersingels Straat. Terusan jalan Residentweg disebut Schoolstraat (sebagai dari jalan Istana dan sebagai dari jalan Yos Sudarso).

Sejarah jaringan jalan di kota adalah sejarah perkembangan kota itu sendiri. Dari perkembangan jalan di dalam kota inilah kemudian nama-nama jalan di Fort de Kock (Bukittinggi) ditabalkan melalui keputusan Asisten Residen/Wali Kota (Burgemeester). Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Residentweg: Nama Jalan Pertama di Bukittinggi

Seperti di kota-kota lain, nama jalan pertama yang ditabalkan adalah jalan utama di dalam kota. Penanda navigasi jalan utama di dalam kota adalah jalan dimana lokasi kantor kepala daerah (Asisten Residen/Residen). Kantor Residen di kota Fort de Kock berada di Residenweg (dalam peta No. 31, sementara No. 30 adalah rumah Residen). Dua bangunan ini kini menjadi gedung dan taman dari Taman Monumen Proklamtor Bung Hatta. Kapan nama Residenweg ditabalkan?

Taman Monumen Proklamtor Bung Hatta
Pada tahun 1837 dibentuk Province Sumatra’s Westkust yang terdiri dari tiga Residentie, yakni: Padangsche Benelanden, Padangsche Bovelanden dan Tapanoeli. Ibu kota Residentie Padangsche Bovenlanden adalah Fort de Kock. Tahun inilah pemimpin daerah Residentie Padangsche Bovenlanden statusnya kali pertama ditingkatkan dari Asisten Residen menjadi Residen. Pada tahun 1907 Residentie Tapanoeli dipisahkan dari Province Sumatra’s Westkust. Ketika Residentie Oost Sumatra (ibu kota Medan) ditingkatkan menjadi Province tahun 1915, Province Sumatra’s Westkust dilikuidasi menjadi hanya setingkar Residentie (Residen berkedudukan di Padang). Oleh karena itu status Residen Padangsche Bovenlanden juga dilikuidasi dan di Fort de Kock hanya berkedudukan Asisten Residen (kepala daerah Afdeeling Agam). Dalam hal ini, nama jalan di Fort de Kock disebut Residentweg, maka penamaan jalan dilakukan sebelum tahun 1915, Kota Fort de Kock ditingkatkan statusnya menjadi Kota (Gemeente) pada tahun 1930 yang dikepalai oleh seorang Wali Kota (Burgemeester).

Tunggu deskripsi lengkapnya

Daftar nama jalan tempo dulu di Bukittinggi

Gemeente Fort de Kock bukanlah kota besar seperti Padang, Medan, Jakarta, Semarang dan Soerabaja. Oleh karena Gemeente Fort de Kock termasuk kota kecil maka jumlah jalan yang ada di dalam kota juga tidak banyak. Nama-nama jalan tempo dulu di Bukittinggi adalah sebagai berikut:


Daftar nama jalan di Bukitttinggi tempo dulu

No
Nama lama (era Belanda)
Nama baru (masa kini)
1
Residenweg
Istana
2
Schoolweg
Istana dan Yos Sudarso
3
Binnenweg
Ahmad Karim
4
Chineescheweg
Ahmad Yani
5
Grootepasarweg
Minangkabau
6
Kampementslaan
Sudirman
7
Zuidersingels Straat
Panorama
8
Oostersingels Straat
Perintis Kemerdekaan
9
Hospitalsingels Straat
Dr. Ahmad Rivai
10
Tempokweg
Ahmad Yani
11
Stormparkweg
Cindiamato
12
Filitweg
Marapi
13
Patjoeanstraat
Veteran
14
Pasarstraat
Lereng
15
Ngaraiweg
Bintang

Tunggu deskripsi lengkapnya


*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish).

Korespondensi: akhirmh@yahoo.com 

Komentar

Acap Dilihat

Pasar di Bukittinggi dlm Kenangan Bung Hatta

Selain dari pedagang  yang datang menjualkan barangnya, tidak sedikit pula jumlah orang yang datang berbelanja dari kota-kota kecil atau dusun-dusun sekitar Bukittinggi. Selain dari tempat berjual beli, pasar itu tempat pesiar. Dikunjungi pula oleh beratus-ratus orang dari jauh datang bertamasya ke sana untuk menghilangkan perasaan sunyi yang menghinggapinya pada tempat tinggalnya. Foto selengkapnya silahkan klik disini Like & Follow:  Bukittinggi Culture, History, & Arts Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Museum Rumah Adat Nan Baanjuang Peninggalan Sejarah Bukittinggi Join Our FB Group: Bukittinggi Culture, History, & Arts Follow Our Instagram: Bukittinggi Culture, History, & Arts Join Our WAG: Konco Budaya

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Pacuan Kudo Bukik Ambacang

padangheritage   Catatan  @padangheritage : Bukit Ambacang, Lokasi Pacuan Kuda Tertua di Indonesia Olahraga pacu kuda sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan masyarakat bukittinggi jauh sebelum indonesia merdeka. Salah satu peninggalannya adalah Klub Pacu Kuda Bukittinggi yang sudah ada sejak Tahun 1889. Tulisannya termuat di sebuah tugu di dalam arena: Herdenking Van Het Veertig Jariigbestan der Fort de Koksche Wedloop Societeit 1889-1929 (Peringatan 40 tahun berdirinya klub pacu kuda Bukittinggi)

72. Rumah Wakidi

  Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, kemudian mereka bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan semakin berkembang bakatnya itu ketika tahun 1903 Wakidi bersekolah di   Kweekschool   (sering disebut Sekolah Raja - sekolah guru) Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar melukis dengan bimbingan guru, terutama ia melukis tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 ia mengajar di sekolah menengah di Bukit Tinggi.

12. Tugu PDRI

Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Engku Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo[1]. Tugu ini dibangun untuk mengenang Bukittinggi pernah memainkan peran sangat penting dimasa revolusi kemerdekaan yakni mejadi Ibu Kota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jogjakarta pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.