Langsung ke konten utama

Menara Air "Guguak Limpapeh"


 "Fort de Kock" dirombak; menjadi Mercu Air "Guguak Limpapeh"

Benteng Belanda kolonial "Fort de Kock" yang terletak di Bukit Jirek di tengah-tengah Kota Bukittinggi yang merupakan Lambang Penjajahan, oleh Gubernur/ Kepala Daerah Sumatera Barat, Kaharudin Dt. Rangkayo Basa pada hari Rabu jl. telah dirombak dan dijadikan mercu air yang diberi nama Mercu Air "Guguak Limpapeh" setelah diperbaiki/dibangun dengan biaya Rp. 2 Juta

Seperti diketahuai di Kock adalah nama seorang Jenderal Belanda yang merebut[1] Kota Bukittinggi setelah menghadapi perlawanan yang sengit dari rakyat dalam Perang Paderi pada tahun 1925[2] dan kemudian nama Kota Bukittinggi oleh Belanda digantinya menjadi kota "Fort de Kock".[3] Dari benteng "Fort de Kock" ini meriam-meriam kolonial Belanda diarahkan ke segenap penjuru kota untuk menghancurkan Kaum Padri yang melakukan perlawanan dengan gigih dan berani terhadap penjajahan kolonial Belanda.

Tanah yang pernah dirampas penjajah akhirnya pulang kepada pemiliknya

Gubernur/ Kepala Daerah Sumatera Barat Kaharudin Datuak Rangkayo Basa dalam amanatnya pada upacara tersebut mengatakan bahwa tanah kita yang dulunya pernah dirampas dengan paksa oleh kaum penjajah Belanda sekarang telah pulang kepada pemiliknya yakni Negara Republik Indonesia. Ini adalah berkat kemerdekaan yang telah kita capai dengan perjuangan yang sengit.

Oleh Gubernur seterusnya dikatakan bahwa Belanda kolonial mendirikan bentengnya untuk menumpas patriot-patriot Indonesia yang kemudian diber nama "Fort de Kock"

"Tetapi", demikian kata Gubernur seterusnya "benteng Belanda Kolonial 'Fort de Kock' juga berada dibawah naungan gunung Merapi dan Singgalang yang merupakan lambang bagi kehidupan masyarakat Minangkabau."

Kalau benteng 'Fort de Kock' dahulu melambangkan suatau kekuatan lahir, kekuatan jasmaniah bagi penjajah Belanda maka gunung Merapi dan Singgalang bagi rakyat Minangkabau adalah lambang kekuatan dan keteguhan batin, kata Gubernur.

Sekarang tanah bekas benteng Belanda oleh Gubernur diharapkan hendaknya pemakaiannya digunakan untuk tujuan baru yakni bagi kebahagiaan rakyat. Kalau tempat ini dulunya merupakan sumber mengalirnya pengaruh dan infiltirasi kebudayaan kolonial Belanda ke daerah-daerah sekitarnya, sekarang hendaknya kita gunakan tempat itu sebagai sumber kesejahteraan rakyat kita terutama dalam Kota Bukittinggi. Demikian antara lain amanat Gubernur Kepala Daerah Sumatera Barat Kaharudin Dt. Rangkayo Basa dan akhirnya dinyatakan bahwa mulai hari ini berakhirlah benteng "Fort de Kock" yang oleh Belanda dijadikannya lambang penjajahan di daerah Minangkabau (Ant.)

-----------------

Sumber: Fikiran Rakyat 9-01-1963. Koleksi Perpustakaan Nasional RI (skjil-team)

Diketik ulang dari arsip Perpusnas (diterbitkan di FB Perpusnas) oleh Admin Bukittinggi van Agam, pada Khamis 15 Dzulhijjah 1443/ 14 Juli 2022 dengan penyesuaian ejaan dan penambahan Catatan Kaki.

======================

Catatan Kaki oleh Admin:

[1] Bukit Tinggi tidak direbut oleh Belanda, karena kedatangan Belanda yang katanya untuk melindungi Anak Nagari atas persetujuan para Penghulu Nagari Kurai itu sendiri. Karena Nagari Kurai tidak berada di fihak Kaum Putih (Paderi) dan merasa terancam dengan gerakan tersebut.

[2] Gerakan Paderi (1803-1821) pertama kali meletus pada tahun 1803 yang dipimpin oleh Majelis Harimau Nan Salapan dengan Tuanku Nan Renceh sebagai kepala dari Majelis tersebut. Gerakan ini berlangsung hingga tahun 1821. Kemudian pada tahun 1821 sekelompok penghulu yang dipimpin oleh Rajo Alam menuju Padang guna menjalin kerjasama dengan Belanda. Belanda akhirnya ikut campur tangan dalam konflik internal di Minangkabau dan dimulailai era Perang Paderi (1821-1825). Periode berikutnya ialah masa Gencatan Senjata (1825-1830) yang ditanda-tangani dengan Perjanjian Masang. Pada masa ini Belanda merelokasi pasukannya ke Jawa untuk memenangkan Perang Diponegoro dan pada tahun yang sama membangun sebuah Benteng di Bukit Jirek. Pada masa 1831-1837 dimulai kembali perang, namun kali ini perang terjadi antara Rakyat Minangkabau (Kaum Putih/Paderi & Kaum Adat) dengan Belanda. Semenjak tahun 1831 Belanda telah mulai melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Masang, merelokasi tentara mereka kembali ke Sumatera Barat, dan melakukan beberapa ekspansi untuk menguasai wilayah-wilayah di Minangkabau. Jadi total masa seluruhnya ialah 1803-1837, kurang lebih 34 tahun.

[3] Belanda hanya melakukan penamaan ulang, karena nama Buki Tinggi dalam pemahaman masyarakat Agam Tuo pada masa itu ialah nama sebuah pasar (pekan) yang terletak pada sebuah bukit yang lebih tinggi dari bukit yang lain. Kemudian seiring dengan berjalannya waktu, nama Bukit Tinggi meluas penggunaannya untuk menyebut wilayah-wilayah di sekitar benteng hingga akhirnya jauh berkembang melebih batas-batas administratifnya masa kini. Karena orang Agam Tuo (Agam Timur) juga menyebut diri mereka orang Bukit Tinggi.

Komentar

Acap Dilihat

Pasar di Bukittinggi dlm Kenangan Bung Hatta

Selain dari pedagang  yang datang menjualkan barangnya, tidak sedikit pula jumlah orang yang datang berbelanja dari kota-kota kecil atau dusun-dusun sekitar Bukittinggi. Selain dari tempat berjual beli, pasar itu tempat pesiar. Dikunjungi pula oleh beratus-ratus orang dari jauh datang bertamasya ke sana untuk menghilangkan perasaan sunyi yang menghinggapinya pada tempat tinggalnya. Foto selengkapnya silahkan klik disini Like & Follow:  Bukittinggi Culture, History, & Arts Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Museum Rumah Adat Nan Baanjuang Peninggalan Sejarah Bukittinggi Join Our FB Group: Bukittinggi Culture, History, & Arts Follow Our Instagram: Bukittinggi Culture, History, & Arts Join Our WAG: Konco Budaya

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Pacuan Kudo Bukik Ambacang

padangheritage   Catatan  @padangheritage : Bukit Ambacang, Lokasi Pacuan Kuda Tertua di Indonesia Olahraga pacu kuda sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan masyarakat bukittinggi jauh sebelum indonesia merdeka. Salah satu peninggalannya adalah Klub Pacu Kuda Bukittinggi yang sudah ada sejak Tahun 1889. Tulisannya termuat di sebuah tugu di dalam arena: Herdenking Van Het Veertig Jariigbestan der Fort de Koksche Wedloop Societeit 1889-1929 (Peringatan 40 tahun berdirinya klub pacu kuda Bukittinggi)

72. Rumah Wakidi

  Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, kemudian mereka bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan semakin berkembang bakatnya itu ketika tahun 1903 Wakidi bersekolah di   Kweekschool   (sering disebut Sekolah Raja - sekolah guru) Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar melukis dengan bimbingan guru, terutama ia melukis tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 ia mengajar di sekolah menengah di Bukit Tinggi.

12. Tugu PDRI

Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Engku Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo[1]. Tugu ini dibangun untuk mengenang Bukittinggi pernah memainkan peran sangat penting dimasa revolusi kemerdekaan yakni mejadi Ibu Kota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jogjakarta pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.