Langsung ke konten utama

Asal Usul Nama Bukittinggi dan Agam

 Disalin dari Poestaha Depok

Nama Bukittinggi tidak berdiri sendiri. Nama Bukittinggi terkait dengan nama Agam. Kini nama Bukittinggi dikenal sebagai Kota, dan nama Agam sebagai Kabupaten di Provinsi Sumatra Barat. Lantas apalah arti suatu nama? Tentu saja nama sangat berarti, lebih-lebih ketika kita ingin mengingat Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (1948-1949). Bukittinggi dalam hal ini jelas kota kenangan: Kota Bersejarah.

Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam
Serial artikel Sejarah Bukittinggi adalah bagian dari serial artikel Sejarah Menjadi Indonesia. Paralel dengan penulisan serial artikel Sejarah Bukittinggi ini adalah penulisan serial Sejarah Air Bangis. Sejatinya di masa lampau kota Air Bangis dan kota Bukittinggi adalah kota kembar (namun kini beda nasib). Sebagai bagian dari Sejarah Menjadi Indonesia, Sejarah Bukittinggi dan Sejarah Air Bangis dapat disejajarkan dengan sejarah kota-kota lainnya di Indonesia. Dalam blog ini, sejarah kota-kota di Indonesia yang sudah diupload antara lain adalah Sejarah Jakarta, Sejarah Padang, Sejarah Bogor, Sejarah Surabaya, Sejarah Yogyakarta, Sejarah Semarang, Sejarah Medan, Sejarah Palembang, Sejarah Sibolga dan Sejarah Padang Sidempuan.

Sebagai bagian dari narasai sejarah, kapan nama Bukittinggi dicatat dan kapan pula nama Agam dikenal? Sejauh ini tidak ada keterangan yang memuaskan. Namun sejarah tetaplah sejarah. Sejarah adalah narasi fakta dan data. Nama Bukittinggi di Agam yang pernah menjadi Ibu Kota Pemerintahan Darurat Republik Indonesia haruslah tetap dicari. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber tempo-tempo doeloe.


Benteng Fort de Kock (Lukisan 1825)
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*

Boekiet Tinggie dan Agam

Nama Bukittinggi paling tidak sudah ada ketika benteng Fort de Kock dibangun tahun 1825 (lihat Bataviasche courant, 16-11-1825). Disebutkan keberadaan benteng (fort) de Kock berada di Bukittinggi, district Agam. Oleh karena keutamaan benteng Fort de Kock (dalam Perang Padri), orang Belanda kemudian lebih sering menyebut Fort de Kock daripada Bukittinggi. Kelak, baru pada tahun 1950 nama Bukittinggi dipulihkan kembali.

Bataviasche courant, 16-11-1825
Pada saat permulaan pembentukan Pemerintahan Hindia Belanda di pantai barat Sumatra tahun 1819, ibu kota ditempatkan di (kampong) Tappanoeli dimana Asisten Residen WJ Waterloo berkedudukan. Hal ini karena aktivitas Inggris di Padang masih ada (Inggris berpusat di Bengkoeloe). WJ Waterloo dibantu oleh pejabat sipil dan militer. Di Padang ditempatkan pejabat pelabuhan dan pakhuismeester; di Natal ditempatkan pejabat pelabuhan yang merangkap pakhuismeester. Militer dengan pangkat tertinggi (Majoor von Rochmaler) bermarkas di Natal. Untuk urusan pedalaman (Padangsche Bovenlanden) dipimpin oleh Kapitein C Bauer. Empat komandan berpangkat Luitenant ditempatkan di Agam, Samawang, Padang Canting dan Pariaman. Satu komandan militer dengan pangkat Eerste Luitenant Amstrong di Ajer Bangis (lihat Almanak 1822). Di Agam ditempatkan Luitenant Cremer. Inilah untuk kali pertama diketahui orang Belanda memasuki wilayah pedalaman di Minangkabau (Padangsche Bovenland). Kapitein C Bauer mulai membangun benteng sebagai ibu kota dengan memilih di Boekit Tinggi. Tidak lama kemudian terjadi perjanjian tukar guling antara Bengkoelen (Inggris) dan Malaka (Belanda) yang dikenal sebagai Tractat London, 1824). Pada tahun 1824 ibu kota pantai barat Sumatra dipindahkan dari Tapanoeli ke Padang yang statusnya ditingkatkan menjadi Residentie yang mana Resident yang diangkat adalah Colonel HJJL de Stuers.

Ketika Belanda memasuki pedalaman dalam merealisasikan pembentukan pemerintahan, sudah lebih dahulu ada kesepakatan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan para pangeran Pagaroejoeng. Kesepakatan ini bermula ketika Raffles (Letnan Gubernur Jenderal Inggris) menjalin alinasi dengan para pangeran. Raffles sendiri telah berkunjung ke Pagaroejoeng pada tahun 1819. Sehubungan dengan adanya perjanjian antara Inggris dan Belanda (perihal tukar guling Bengkulu dan Malaka), kesepakatan Raffles dengan para pangeran Pagaroejoeng juga termasuk yang diestafetkan dari pihak Inggris ke pihak Belanda (lihat Groninger courant, 17-12-1824). Ketika Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1819 mulai membentuk pemerintahan di pantai barat Sumatra, aktvitas Inggris masih ada di pedalaman Minangkabau (Pagaroejoeng). Hal inilah yang menyebabkan ibu kota pantai barat Sumatra ditempatkan di Tapanoeli. Proses pertukaran informasi antara Inggris dan Belanda soal pantai barat Sumatra berlangsung selama antara tahun 1819 (dimulainya pembentukan pemerintahan Hindia Belanda) hingga 1824 (Traktat London).

Setelah pembebasan ini segera dibentuk pemerintahan sipil di Padangsche Bovenlanden (lihat Bataviasche courant, 29-11-1826). Pemerintahan ini terdiri dari Regentschap Tanah Datar dan Regentschap Agam. Oleh karena keutamaan benteng Fort de Kock (dalam Perang Padri), orang Belanda kemudian lebih sering menyebut Fort de Kock daripada Bukittinggi. Nama Fort de Kock yang berada di area yang disebut Boekit Tinggi lambat laun menjadi penanda navigasi.





Komentar

Acap Dilihat

Pasar di Bukittinggi dlm Kenangan Bung Hatta

Selain dari pedagang  yang datang menjualkan barangnya, tidak sedikit pula jumlah orang yang datang berbelanja dari kota-kota kecil atau dusun-dusun sekitar Bukittinggi. Selain dari tempat berjual beli, pasar itu tempat pesiar. Dikunjungi pula oleh beratus-ratus orang dari jauh datang bertamasya ke sana untuk menghilangkan perasaan sunyi yang menghinggapinya pada tempat tinggalnya. Foto selengkapnya silahkan klik disini Like & Follow:  Bukittinggi Culture, History, & Arts Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta Museum Rumah Adat Nan Baanjuang Peninggalan Sejarah Bukittinggi Join Our FB Group: Bukittinggi Culture, History, & Arts Follow Our Instagram: Bukittinggi Culture, History, & Arts Join Our WAG: Konco Budaya

Kontak Bidang Kebudayaan

BIDANG KEBUDAYAAN DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA BUKITTINGGI Kepala Bidang Drs. Mul Akhiar Dt. Sinaro Pamong Budaya Ahli Muda Sub Koordinator Permuseuman Beta Ayu Listiyorini, SS Sub Koordinator Cagar Budaya dan Peninggalan Sejarah Fakhri, SS Sub Koordinator Bina Seni dan Nilai Tradisi Yogian Hutagama, SST.Par, M.Sn surel: kebudayaanbkt@gmail.com linktr.ee/kebudayaan Jl. Sudirman No.9 Kelurahan Sapiran Kota Bukittinggi  26137

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Pasanggrahan di Sumatera Barat Awal Abad ke-20

  Singgalang.co.id | Pelancongan adalah perjalanan dan rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh manusia, baik secara perorangan atau berkelompok ke suatu tempat untuk sementara waktu. Aktivitas ini dilakukan dengan tujuan mencari ketenangan, kedamaian, keseimbangan, keserasian dan kebahagiaan jiwa/batin. Di samping membutuhkan prasarana dan sarana transportasi, kegiatan ini juga membutuhkan sarana akomodasi. Salah satu jenis akomodasi yang dibutuhkan wisatawan adalah tempat menginap. Tiga contoh fasilitas akomodasi yang sangat lazim dikenal dan digunakan para pelancong saat sekarang adalah hotel, apartemen, dan guesthouse . Tempo doeloe, terutama pada kurun waktu empat dekade pertama awal abad ke-20, jenis-jenis akomodasi ini dikenal dengan sebutan hotel dan pasanggrahan. Sumber-sumber lama dari era Belanda, pada awalnya, mendefinisikan pasanggrahan sebagai tempat tinggal/menginap sementara bagi para ambtenar (pegawai pemerintah) atau orang-orang pemerintahan, termasuk juga aparat mil

Pacuan Kudo Bukik Ambacang

padangheritage   Catatan  @padangheritage : Bukit Ambacang, Lokasi Pacuan Kuda Tertua di Indonesia Olahraga pacu kuda sudah menjadi kegiatan umum yang dilakukan masyarakat bukittinggi jauh sebelum indonesia merdeka. Salah satu peninggalannya adalah Klub Pacu Kuda Bukittinggi yang sudah ada sejak Tahun 1889. Tulisannya termuat di sebuah tugu di dalam arena: Herdenking Van Het Veertig Jariigbestan der Fort de Koksche Wedloop Societeit 1889-1929 (Peringatan 40 tahun berdirinya klub pacu kuda Bukittinggi)

72. Rumah Wakidi

  Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, kemudian mereka bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan semakin berkembang bakatnya itu ketika tahun 1903 Wakidi bersekolah di   Kweekschool   (sering disebut Sekolah Raja - sekolah guru) Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar melukis dengan bimbingan guru, terutama ia melukis tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 ia mengajar di sekolah menengah di Bukit Tinggi.

12. Tugu PDRI

Tugu Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi dibangun pada tahun 1949. Pembangunan tugu ini diprakarsai oleh Engku Buyuang Padang Dt. Sutan Marajo[1]. Tugu ini dibangun untuk mengenang Bukittinggi pernah memainkan peran sangat penting dimasa revolusi kemerdekaan yakni mejadi Ibu Kota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jogjakarta pada masa Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948.