Langsung ke konten utama

Jejak Jalur rempah di Padang


Pencarian bangsa asing terhadap rempah-rempah membuat banyak kepulauan di Nusantara pada akhirnya membentuk kota dagang. Salah satunya di pantai barat Sumatera. Rempah-rempah dari Sumatera pun menjadi daya tarik karena tidak bisa ditemukan di tempat lain, seperti gambir, gaharu, dan kayu manis.


Dengan eksotisme rempah inilah beberapa titik di Sumatera Barat menjadi tempat singgah banyak bangsa untuk melakukan transaksi rempah-rempah. Beberapa titik perdagangan yang terkenal di pesisir barat Sumatera adalah Pelabuhan Tiku dan Teluk Bayur. Kosmopolitan yang terjadi di Padang hari ini juga tak lepas dari peran Jalur Rempah yang menjadikannya sebagai salah satu simpul.

Disalin dari IG Jalur Rempah RI
__________________________________

Daya tarik Indonesia bagi bangsa luar sudah diketahui sejak beberapa abad lalu. Hal ini terutama karena kepemilikan bangsa ini akan komoditas istimewa, yakni rempah-rempah, yang tersebar melalui perdagangan lintas bangsa. Keistimewaan tempat ini bahkan turut tercatat dalam Suma Oriental, catatan milik petualang legendaris asal Portugis, Tome Pires. Ia menyebut Nusantara sebagai Kepulauan Rempah karena di tanah ini tumbuh banyak jenis rempah yang pada masanya begitu dicari dan lebih berharga daripada emas.

Hal ini sejurus dengan bangsa-bangsa dunia yang telah mengetahui Nusantara sebagai sumber komoditas rempah. Dari situ, bangsa Austronesia yang merupakan bagian peradaban bangsa Nusantara, menjadi semakin dikenal bangsa-bangsa besar lainnya. 

Pencarian bangsa asing terhadap rempah-rempah ini juga membuat banyak kepulauan di Nusantara pada akhirnya membentuk kota dagang. Terutama di daerah penghasil rempah, kota-kota strategis yang dilalui banyak pelaut lintas bangsa, hingga bagian pesisir yang menjadi tempat bersandarnya kapal.

Dampak dari era pelayaran ini pun turut memberi pengaruh di pantai barat Sumatera. Hal ini terjadi karena bagi masyarakat sekitar, rempah telah menjadi satu simbol penting bagi kehidupan mereka, dari mulai komoditas perdagangan, cita rasa, hingga falsafah hidup mereka. Sebagai efek dari perdagangan internasional yang tidak terelakkan, hubungan antarbangsa pun menjadi niscaya. Rempah-rempah dari Sumatera pun menjadi daya tarik karena tidak bisa ditemukan di tempat lain. Jenis rempah tersebut adalah gambir (Uncaria), gaharu, dan kayu manis yang merupakan komoditas penting dan ditemukan di kawasan Minangkabau, yang meliputi Sumatera Barat, Bengkulu, dan separuh daratan Riau. 

Dalam webinar bertajuk Minangkabau dan Peradaban Austronesia di Jalur Rempah Dunia, Ary Prihardhyanto Keim, seorang peneliti di LIPI menjelaskan bahwa rempah gambir menjadi produk Sumatera pertama yang diekspor. “Yang tercatat ekspor pertama kali justru dari Sumatera lewat gambir. Gambir ini termasuk ekspor pertama Indonesia dan luar. Bahkan, sampai sekarang India masih mengimpor gambir,” ujarnya.

Dengan eksotisme rempah gambir inilah beberapa titik di Sumatera Barat menjadi tempat singgah banyak bangsa untuk melakukan transaksi rempah-rempah. Beberapa titik perdagangan yang terkenal di pesisir barat Sumatera adalah Pelabuhan Tiku dan Teluk Bayur. Untuk Pelabuhan Teluk Bayur, Gusti Adnan dalam makalah Lanskap Budaya Maritim Sumatera menulis, pasca kedatangan Belanda, menjadi titik berpindahnya perdagangan dari pesisir timur menuju pesisir barat, pernah menjadi pintu gerbang utama antarpulau yang menjadi arus keluar masuk barang ekspor-impor dari dan ke Sumatera Barat.

Pelabuhan Teluk Bayur merupakan salah satu pelabuhan kebanggaan Kota Padang yang sangat bersejarah. Pelabuhan yang sebelumnya bernama Emmahaven ini dibangun pemerintah kolonial Belanda antara 1888 sampai 1893. Pelabuhan ini juga pernah dikenal sebagai lima pelabuhan terbesar di Indonesia hingga tahun 1945.

Selain pelabuhan yang menjadi titik perdagangan, titik lain yang di Sumatera Barat yang juga penting adalah kawasan Kota Tua Padang. Pada masanya, tempat ini merupakan kegiatan perdagangan antarnegara, terutama di sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Selain tempat ini, ada pula Pelabuhan Muaro yang masih berada di kawasan Kota Tua yang diketahui sebagai salah satu daerah tersibuk dan diyakini sebagai titik awal berkembangnya Kota Padang. Sejumlah bangunan peninggalan Belanda pun masih bisa ditemui di tempat ini, yakni di sepanjang Jl. Muaro, Pasa Gadang, Pasar Mudik, hingga daerah Pondok.

Selain bangunan dan arsitektur yang menjadi bukti peninggalan nyata bangsa asing, Jalur Rempah juga memiliki warisan bernilai berupa keragaman budaya dan munculnya masyarakat multietnik. Di kawasan Kota Tua Padang, nuansa peninggalan dari era keemasan perdagangan Nusantara juga dapat ditemui di tempat ini.

Kawasan Kota Tua Padang bahkan bisa disebut sebagai etalase yang menunjukkan keragaman budaya masyarakat Padang. Hal ini karena di tempat ini hidup masyarakat dari beragam etnik. Mulai dari India, Tionghoa, Melayu, Nias, Jawa, hingga Minangkabau, hidup rukun bergandengan dengan adat istiadat dan tradisinya masing-masing.

Di antaranya, masyarakat keturunan India yang berdiam di daerah Kampung Keling yang tiap tahunnya rutin mengadakan Serak Gulo, khusus untuk memberi penghormatan pada tokoh-tokoh muslim India berjasa besar. Selain itu, ada pula kawasan Pondok yang didominasi oleh etnik Tionghoa yang juga kerap menggelar tradisi menjelang perayaan hari besar, seperti Imlek atau Cap Go Meh. 

Selain beberapa fakta di atas, hal lain yang tak bisa dilewatkan adalah kekhasan masakan Padang yang amat sangat kaya akan rempah. Dari mulai rendang, sate Padang, nasi kapau, itiak lado mudo, hingga teh talua. Hal ini pun menjadi bukti nyata bahwa rempah tidak hanya menyorot romantisisme masa lalu, melainkan juga membentuk apa yang terjadi hari ini. 

Melalui seporsi masakan padang yang kaya rempah, terdapat banyak sejarah yang melingkupi, tentang dari mana rempah itu berasal, keterkaitan antara satu budaya dengan budaya lain, hingga pelbagai hal dari masa lampau yang memungkinkan masakan tersebut dapat tercipta dan hadir dalam seporsi makanan yang siap disantap.

Kosmopolitan yang terjadi di Padang juga tak lepas dari peran Jalur Rempah yang menjadikannya sebagai salah satu simpul. Dalam artikel bertajuk Jalur Rempah: Memuliakan Masa Lalu untuk Kesejahteraan Masa Depan, Ananto K. Seta menulis, “Memori Jalur Rempah diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan kebanggaan kolektif akan jati diri bangsa, sekaligus memperkuat kembali rajutan kebhinekaan Indonesia melalui interaksi budaya antardaerah yang telah dibangun sejak ribuan tahun lalu. Waktu telah membuktikan bahwa perjumpaan orang-orang di pelabuhan, misalnya, menjadi kesempatan bagi pertukaran informasi, pengetahuan, tradisi, dan seni… Kita saksikan pada saat ini, bagaimana masyarakat pada titik-titik Jalur Rempah, seperti Aceh, Kepulauan Riau, Medan, Jakarta, Semarang, dan beberapa kota lainnya terlihat menjadi begitu kosmopolitan.” 

Pada hari ini, kita dapat melihatnya lewat Pelabuhan Bayur, Kota Tua Padang, Perkebunan Rempah Gambir, kuliner khas Kota Padang yang kaya akan rempah, hingga beberapa landmark Sumatera Barat sendiri, seperti Jam Gadang di Bukittinggi yang merupakan pemberian Ratu Belanda, Masjid Jamik Taluak yang menggabungkan berbagai arsitektur berbagai bangsa, hingga Istana Pagaruyung yang menjadi simbol kekayaan orang-orang Minangkabau, yang pada masa lampau merupakan bagian dari kerajaan maritim di Nusantara, Sriwijaya.

Hal ini tentunya menjadi satu upaya kebanggan kolektif kita sebagai bangsa Indonesia yang plural, yang tumbuh dan besar bersama warisan berbagai budaya dan segala jenis etnik manusia yang menghidupinya pada hari ini. Sebuah alasan mengapa pengarang tersohor Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, memberi julukan Anak Semua Bangsa kepada tanah ini.

__________

Naskah: Doni Ahmadi

Editor: Tiya S.

__________

Daftar Pustaka

https://jalurrempah.kemdikbud.go.id/jalur-rempah-memuliakan-masa-lalu-untuk-kesejahteraan-masa-depan/

https://rri.co.id/humaniora/wisata/742346/koneksi-silo-gunung-teluk-bayur-saksi-sejarah-warisan-budaya-dunia

https://scholar.google.com/citations?user=NbhoY6AAAAAJ&hl=en#d=gs_md_cita-d&u=%2Fcitations%3Fview_op%3Dview_citation%26hl%3Den%26user%3DNbhoY6AAAAAJ%26citation_for_view%3DNbhoY6AAAAAJ%3AD03iK_w7-QYC%26tzom%3D-420

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2020/09/07/minangkabau-surga-rempah-bagi-banyak-bangsa

https://lampau.in/2020/09/03/pelabuhan-tiku-bandar-lada-yang-terlupakan/

https://www.republika.co.id/berita/phqcbq282/nagari-tiku-kampung-di-sumatra-yang-tersohor-hingga-eropa

Webinar Minangkabau dan Peradaban Austronesia di Jalur Rempah Dunia

disalin dari: jalurempah.kemdikbud.go.id


Komentar

Acap Dilihat

39. Los Saudagar

Los Saudagar atau Lorong Saudagar atau masyarakat Bukittinggi dan Agam juga mengenalnya dengan nama Balakang Pasa ialah komplek bangunan ruko peninggalan kolonial yang masih bertahan di Bukittinggi. Pada gempa tahun 2006, sebagian besar dari bangunan ruko disini hancur dan hanya menyisakan puing-puing. Kini hanya sebagian kecil dari bangunan yang masih bertahan. Komplek bangunan ini telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 dengan Nomor  Nomor PM.05/PW.007/MKP2010 . ====================== Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan `belakang pasar` yang dibangun pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang¬barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blo

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

20. Sekolah MULO (SMP N 3&4 Bukittinggi)

Ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Bukittinggi berdasarkan  SK Walikota No. 188.45-335-2021 Tanggal 30 Desember 2021 Bangunan SMP 3 dan 4 atau dahulu merupakan SMP 2 berada di Jalan Panorama, Kelurahan Kayu Kubu, Kecamatan Guguak Panjang . Berdasarkan keterangan yang didapat dari kepala sekolah, bangunan sekolah ini merupakan Sekolah MULO (sekolah menengah) pada masa Kolonial Belanda. Hingga tahun 1945 bangunan ini masih difungsikan sebagai sekolah menengah oleh pemerintah Indonesia. Setelah sekolah menengah di tiadakan kemudian pada tahun berikutnya beralih fungsi sebagai tempat percetakan "Oeang Republik Indonesia (ORI)". 

19. SMP N 1 Bukittinggi

No Regnas: RNCB.20181025.02.001532 SK Penetapan: SK Menteri No PM.05/PW.007/MKP/2010   Status: dilindungi Undang-Undang     Gedung Sekolah SMP 1 berada di Jalan Sudirman No. 1, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kecamatan Guguak Panjang. Tidak ada keterangan yang jelas mengenai riwayat bangunan ini, tetapi dilihat dari bentuk arsitekturnya tampak bahwa bangunan ini mewakili gaya yang khas pada masa kolonial yang ditunjukkan pada bangunan tembok yang kokoh dan balok-balok kayu yang besar serta ukuran pintu dan jendela yang relatif besar pula.  Sampai sekarang bangunan ini masih berfungsi sebagai sekolah (SMP 1).  Bangunan yang berada di kompleks ini terdiri dari 3 blok bangunan. Bangunan utamanya berada di tengah-tengah yang dipergunakan sebagai ruang belajar mengajar. Dua buah bangunan lain merupakan bangunan tambahan yang dibuat tahun 1985 yang difungsikan sebagai ruang majelis guru dan ruang tata usaha.

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Neira

Halo Sahabat Budaya!!! Tahukah kalian kalau di wilayah Kecamatan Banda  [Kabupaten Maluku Tengah, Maluku] banyak terdapat rumah pengasingan bagi tokoh-tokoh politik Indonesia pada zaman penjajahan Belanda? Pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu rumah pengasingan yang ada, yaitu rumah pengasingan Bung Hatta. Simak penjelasan di flyer bawah. Disalin dari IG BPCB Malut

55. Janjang Gantuang

No. Registrasi Nasional:  PO2016072200273 Dilindungi UU No.11 Th. 2010 Janjang Gantuang sesunguhnya merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan Pasa Lereng dengan Pasa Bawah & Pasa Aua Tajungkang. Tepat disebelahnya terdapat sebuah janjang lain yang bernama Janjang Tigo Baleh. Janjang Tigo Baleh sempat ditiadakan (tidak dapat tahun pasti) dan pada tahun 2017 dilakukan revitalisasi dengan membuat janjang baru di lokasi persis Janjang Tigo Baleh berada. Janjang baru mengambil bentuk berbeda, namun diberi nama sama.

Lomba Vlog untuk Umum

  Halo, Sahabat Nusa! Kamu suka videografi? Sering membuat konten video vlogging atau semacamnya di media sosial kamu? Pas sekali, agaknya! Kali ini Nusa akan mewadahi bakatmu dalam sebuah lomba vlog :) Dalam rangka meningkatkan peran aktif masyarakat dalam merevitalisasi potensi Jalur Rempah serta meningkatkan pemahaman dan pemaknaan Jalur Rempah, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan kegiatan lomba Vlog di kompetisi Bumi Rempah Nusantara untuk Dunia!