Langsung ke konten utama

Jam Gadang: Hadiah Ratu Wilhelmina dan Peran Arsitek asal Koto Gadang

Sumber foto: padang kita

Alasan Ratu Wilhelmina menghadiahkan Jam Gadang dan peran arsitek asal Koto Gadang bernama Yazid Rajo Mangkuto dalam pembangunannya.

 Suluah.com – Nama Ratu Wilhelmina tak asing bagi rakyat di negeri jajahan Belanda, termasuk Indonesia. Ia meninggalkan banyak cerita yang menjadi kenangan. Cerita itu salah satunya ada di Bukittinggi. Di sinilah, berdiri Jam Gadang yang merupakan hadiah Ratu Wilhelmina.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa ada seorang arsitek asal Koto Gadang yang berperan besar dalam pembangunan Jam Gadang. Namanya Yazid Rajo Mangkuto.

Sejarah Bukittinggi

Pada masa kolonial Belanda, Bukittinggi bernama Fort de Kock. Nama itu mengacu pada benteng benteng pertahanan yang dibangun oleh Belanda pada 1826 saat Perang Padri.

Setelah Perang Padri usai, Belanda menjadikan Bukittinggi sebagai pusat kedudukan pemerintah kolonial. Belanda melalukan perluasan dan membangun berbagai infrastruktur untuk kepentingan pemerintahannya

Selanjutnya, jaringan transportasi yang menghubungkan Bukittinggi ke kota sekitar ditingkatkan. Pada 1850, Bukittinggi sudah terhubung dengan kereta api ke Padang.

Dalam kaca mata kolonial, situasi Bukittinggi cukup kondusif untuk pembangunan. Hal itu berbeda dengan situasi Padang Panjang, Padang, dan Sawahlunto yang marak dengan gerakan politik. Gerakan politik merupakan ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda.

Pada 1918, Bukittinggi menjelma menjadi kota dengan status gemeente. Perkembangan fisik Bukittinggi diikuti oleh pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya pendapatan penduduk.

Atas pencapaian tersebut, Bukittinggi mendapat apresiasi langsung dari Ratu Belanda, Wilhelmina.

Tak tanggung-tanggung, apresiasi itu berupa seperangkat alat jam berukuran besar yang kini terdapat di Jam Gadang. Jarumnya terus berdetak hingga sekarang.

Pembangunan Jam Gadang

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Wilhelmina. Pada prasasti pembangunannya, tersebut nama arsitek Yazid.

Nama lengkapnya Yazid Rajo Mangkuto. Ia berperan sebagai Penanggung Jawab Teknis Pembangunan. Posisi ini kadang kala diasosiasikan sebagai arsitek, walaupun sebenarnya kurang tebat.

Kami berkesempatan mewancari Aswin Yazid, anak ketiga dari sebelas putra Yazid. Bagaimana kisah “arsitek” Jam Gadang ini?

Aswin Yazid mengatakan, tidak banyak cerita yang ia dapatkan dari sang ayah. Sebabnya, sang ayah tidak banyak bercerita.

“Beliau orangnya memang tidak suka mengekspos diri,” ujar Aswin.

Aswin yang saat ini berusia 80 tahun menuturkan, peran Yazid dalam pembangunan Jam Gadang dimulai dari penentuan lokasi. Belanda menugaskan Yazid untuk melakukan survei mengenai lokasi pembangunan.

“Kira-kira di titik manakah sebuah bangunan tinggi dapat terlihat oleh penduduk sekitar Bukittinggi, baik orang Birugo, Baso, dan Koto Baru,” jelas Aswin

Yazid Rajo Mangkuto melakukan pengamatan dari setiap jalan masuk ke Bukittinggi. Hasilnya, ada lima tempat di Bukittinggi yang dipilih Yazid. Selanjutnya, kelima tempat itu dipatok bambu dan di atasnya di pasang bendera.

“Setelah itu, Yazid melihat dari jarak jauh, mana tempat yang paling bagus,” lanjut Aswin.

Maka, pilihan jatuh di kawasan datar di tengah kota antara Bukit Cubadak Bungkuk dan Bukit Kandang Kabau, lokasi Jam Gadang berdiri sekarang

Kebetulan, beberapa kantor sudah berdiri di kawasan itu. Di bangunan plaza yang berdiri sekarang, dulunya merupakan kantor dan taman Belanda.

Sederhana Tapi Tahan Gempa

Aswin berkisah, hal yang berkesan bagi Yazid selama pembangunan Jam Gadang adalah alat-alat pengerjaannya yang sederhana.

“Alat-alat untuk mengerjakan bangunan masih sederhana. Kapolding-nya hanya dari bambu. Tidak ada alat berat semacam crane. Sulit membayangkan bagaimana orang bisa menaikkan material yang berat sampai ke atas.”

Jika berbicara pada masa sekarang, pembangunan Jam Gadang tentu lebih mudah. Pasalnya, terdapat alat berat yang memungkinkan untuk memindahkan material berukuran besar.

Walaupun sederhana, kekuatan bangunan Jam Gadang cukup baik. Ketika gempa bumi Padang Panjang pada Juni 1926, Jam Gadang masih dalam tahap konstruksi.

“Saat gempa bumi [Padang Panjang] 1926, konstruksi Jam Gadang tidak roboh,” ujar Aswid.

Meskipun Yazid Rajo Mangkuto bukan arsitek, Yazid berperan besar dalam mewujudkan Jam Gadang. Mulai dari penentuan lokasi, penentuan bahan, higga pengawasan jalannya pembangunan. Hal itulah yang membuat namanya terdapat pada prasasti pembangunan Jam Gadang.

Latar belakang Yazid Rajo Mangkuto

Yazid tak hanya meninggalkan Jam Gadang. Di Koto Gadang, sebuah saluran air dan masjid di sana merupakan bekas dari lakek tangan Yazid.

Yazid lahir pada 4 Agustus 1903 dari ayah bernama Abdul Hakim dan ibu bernama Gum. Ia bersekolah Koningesn Wilhelimina School (KWS) di Jakarta, semacam STM, dan selesai pada tahun 1923.

Usai pembangunan Jam Gadang, Yazid menjadi terkenal di tengah masyarakat Koto Gadang. Ia merancang sebuah masjid di sana yang kini bernama Masjid Nurul Iman Koto Gadang..

“Sang ayah, Abdul Hakim yang meminta Yazid untuk bekerja di kampung. Kebetulan masjid kami di Koto Gadang roboh akibat gempa 1926,” tutur Aswin.

Setelah sukses membangun masjid dan Jam Gadang, Yazid berpikir untuk mulai membangun kampung halaman. Berbekal pengetahuan yang ia miliki, ia mengabdikan dirinya untuk membangun waterleiding atau saluran air.

“Berkat waterleiding yang dibangun Yazid, Koto Gadang sudah punya air PAM pada 1930-an. Mata airnya berasal dari Gunung Singgalang. Menjadi kebanggaan kampung.”

Kiprah Yazid Rajo Mangkuto

Dengan sederet portofolio yang ia punya, Yazid berhasil menjadi pegawai di birokrasi pemerintah Hindia Belanda.

“Dia baru agak serius bekerja menjelang Perang Dunia II (sekitar tahun 1939). Awalnya, ia berdinas di Balai Kota Padang, tepatnya di bagian teknik”

Saat Agresi Militer Belanda pertama pada 1947, situasi kota tidak kondusif. Wali Kota Padang saat itu, Bagindo Azis Chan dibunuh oleh Belanda. Yazid menyuruh anak-anaknya mengungsi karena situasi yang tidak menentu.

“Mengungsilah kalian agar aman,” tutur Aswid menirukan ucapan sang ayah.

Setelah kekuasaan kembali ke tangan republik, Yazid pindah dinas di Bukittinggi dan memboyong keluarganya kembali ke kampung.

Yazid Rajo Mangkuto bekerja di Departemen Pekerjaan Umum & Tenaga Listrik (PUTL) Sumatera Tengah (Sumteng). Jabatan terakhirnya di instansi tersebut sebelum pensiun adalah Wakil PUTL Sumteng, mendampingi Irdam Idris.

Yazid pensiun pada 1958, bertepatan dengan pergolakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Setelah itu, ia memilih tinggal di kampung menikmati hari tua.

 Yazid beberapa kali ke Jakarta untuk mengunjungi anak dan cucunya. Ia mengembuskan napas terakhir pada 5 Februari 1986 saat melakukan kunjungan di Jakarta.

Publikasi mengenai Yazid Rajo Mangkuto sangat terbatas. Meskipun demikian, nama Yazid abadi di kampung kelahirannya, Koto Gadang, seabadi peninggalan yang ia tinggalkan. [den]

 Disalin dari: SULUAH

 

Komentar

Acap Dilihat

Dongeng: Nenek Tua dan Ikan Gabus

  SDN06BatamKota | Dahulu kala, ada seorang Nenek Tua yang sangat miskin. Pakaiannya, hanya yang melekat di badannya. Itu pun sudah compang-camping. Pekerjaan sehari-hari Nenek Tua itu sebagai pencari kayu bakar di hutan untuk ditukarkan dengan makanan. Di saat musim kemarau, di hutan itu, banyak sungai yang kering, dan kekurangan air. Nenek Tua pun pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ketika  sampai di hutan itu, Nenek Tua itu melihat banyak sekali ikan gabus di tempat yang kekeringan, mereka sedang menggelepar-gelepar. Dia begitu gembira. “Mungkin ini rezekiku. Aku akan merasakan lezatnya daging ikan gabus. Nanti, aku akan goreng sebagian dan sebagian lagi kujual,"ujarnya membatin. Lalu, ia pun menjongkok, sambil menyaksikan ikan-ikan gabus yang menggelepar-gelepar itu. Namun, lama-kelamaan, nenek tua itu berubah niat, ia menjadi iba. Akhirnya, ia mengurungkan niatnya mengambil ikan-ikan gabus itu. Dia hanya diam, sambil memandangi ikan-ikan gabus yang tid

39. Los Saudagar

Los Saudagar atau Lorong Saudagar atau masyarakat Bukittinggi dan Agam juga mengenalnya dengan nama Balakang Pasa ialah komplek bangunan ruko peninggalan kolonial yang masih bertahan di Bukittinggi. Pada gempa tahun 2006, sebagian besar dari bangunan ruko disini hancur dan hanya menyisakan puing-puing. Kini hanya sebagian kecil dari bangunan yang masih bertahan. Komplek bangunan ini telah ditetapkan menjadi Cagar Budaya Nasional dengan Surat Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010 dengan Nomor  Nomor PM.05/PW.007/MKP2010 . ====================== Di sebelah timur terdiri dari blok-blok bangunan berjajar yang dinamakan dengan `belakang pasar` yang dibangun pada tahun 1917 (berdasarkan yang tertera pada salah satu bangunannya). Blok ruko pada daerah ini menjual barang¬barang kodian, minyak tanah, minyak goreng dan kapuk. Jalan diantara deretan blok bangunan ini dikenal dengan nama Jalan Saudagar dan Jalan Kumango, yaitu tempat menjual barang-barang kelontong. Deretan blo

Tingkuluak #10

Tingkuluak merupakan salah satu Hijab perempuan Minangkabau selain Lilik . Penggunaan tingkuluak menjadi bagian dari pakaian adat. Seperti dikenal namanya 'Tingkuluak Tanduak'.  Bentuk Tingkuluak bermacam-macam, ada yang sekadar membungkus kepala sehingga rambut perempuan tidak kelihatan. Namun ada juga yang menutup hingga ke bahu serta ada pula yang mencapai dada. Seperti Tingkuluak Koto Gadang.

20. Sekolah MULO (SMP N 3&4 Bukittinggi)

Ditetapkan sebagai Cagar Budaya Kota Bukittinggi berdasarkan  SK Walikota No. 188.45-335-2021 Tanggal 30 Desember 2021 Bangunan SMP 3 dan 4 atau dahulu merupakan SMP 2 berada di Jalan Panorama, Kelurahan Kayu Kubu, Kecamatan Guguak Panjang . Berdasarkan keterangan yang didapat dari kepala sekolah, bangunan sekolah ini merupakan Sekolah MULO (sekolah menengah) pada masa Kolonial Belanda. Hingga tahun 1945 bangunan ini masih difungsikan sebagai sekolah menengah oleh pemerintah Indonesia. Setelah sekolah menengah di tiadakan kemudian pada tahun berikutnya beralih fungsi sebagai tempat percetakan "Oeang Republik Indonesia (ORI)". 

Lilik #9

Hijab memiliki banyak bentuk dan nama, sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang memakainya. Hijab sendiri merupakan kata yang terdapat dalam Al Qur'an [1] dan Jilbab merupakan suatu kata yang populer dimasa Orde Baru. [2] Buya Hamka menerjemahkan Hijab dan Khimar sebagai 'selendang' atau ada juga yang mengatakan beliau menerjemahkannya sebagai 'Kudung' yang berarti 'Kerudung' [3]. Singkat kata, Hijab merupakan kata Syari'at yang merupakan suatu konsep tentang bagaimana seorang perempuan (muslimah) dalam menutupi salah satu auratnya. Sedangkan dalam ranah kebudayaan dikenal berbagai nama dan bentuk seperti; niqab, burqa, chadar (cadar), hijab, [4] dan lain sebagainya.

Rumah Pengasingan Bung Hatta di Banda Neira

Halo Sahabat Budaya!!! Tahukah kalian kalau di wilayah Kecamatan Banda  [Kabupaten Maluku Tengah, Maluku] banyak terdapat rumah pengasingan bagi tokoh-tokoh politik Indonesia pada zaman penjajahan Belanda? Pada kesempatan kali ini kita akan membahas salah satu rumah pengasingan yang ada, yaitu rumah pengasingan Bung Hatta. Simak penjelasan di flyer bawah. Disalin dari IG BPCB Malut

55. Janjang Gantuang

No. Registrasi Nasional:  PO2016072200273 Dilindungi UU No.11 Th. 2010 Janjang Gantuang sesunguhnya merupakan sebuah jembatan yang menghubungkan Pasa Lereng dengan Pasa Bawah & Pasa Aua Tajungkang. Tepat disebelahnya terdapat sebuah janjang lain yang bernama Janjang Tigo Baleh. Janjang Tigo Baleh sempat ditiadakan (tidak dapat tahun pasti) dan pada tahun 2017 dilakukan revitalisasi dengan membuat janjang baru di lokasi persis Janjang Tigo Baleh berada. Janjang baru mengambil bentuk berbeda, namun diberi nama sama.

Bukittinggi masa Agresi Belanda II

SERANGAN DIKOTA BUKITTINGGI 19 DESEMBER 1948- Pada masa Perang Kemerdekaan, Bukittinggi dijuluki sebagai “ Ibu Kota Kedua Republik Indonesia”  Selama beberapa bulan, pada tahun 1947 Wakil Presiden RI berkedudukan di kota ini. Dari Bukittinggi, Wakil Presiden memimpin dan menggendalikan  pemerintahan dan perjuangan untuk seluruh Sumatera.

Kebudayaan\4. Museum\6.Museum Zoologi

 Klik pada judul untuk menuju tulisan: Sato Saba Piliang. Lemuria Indonesia. Hal.776 - Google Book Pembentukan Identitas Literatur - lib.ui.ac Museum Zoologi - Wikipedia  Zoology Musuem in Guguak Panjang Sub District, Indonesia -  Museum Zoologi - Geo Tourism Museum Zoologi Bukittinggi Sumatera Barat